Proses legislasi yang tidak transparan dan minim partisipasi publik berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya adalah potensi lahirnya undang-undang yang cacat formil.Â
Artinya, undang-undang tersebut dapat dianggap tidak sah karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Kasus UU Cipta Kerja menjadi pelajaran penting. Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat karena cacat formil, terutama terkait partisipasi publik.Â
Putusan ini menunjukkan betapa pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi. Kita tentu tidak ingin kejadian serupa terulang pada revisi UU Minerba.
Selain potensi cacat formil, proses legislasi yang janggal ini juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap DPR. Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu.Â
Jika proses pembuatan undang-undang saja terkesan disembunyikan, bagaimana publik dapat percaya bahwa undang-undang tersebut benar-benar dibuat untuk kesejahteraan rakyat?
Urgensi Partisipasi Publik dalam Legislasi
Partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang sangat krusial. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi juga esensi dari demokrasi.Â
Dengan melibatkan masyarakat, undang-undang yang dihasilkan akan lebih aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.
Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) secara eksplisit mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam proses legislasi.Â
Hal ini diperkuat oleh Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menekankan bahwa partisipasi publik harus bermakna dan tidak hanya sekadar formalitas.Â
Tirto.id dalam artikelnya juga menyoroti kritik terhadap proses revisi UU Minerba yang dianggap mengabaikan suara publik.