Analogi sederhananya begini, anggaplah kamu memiliki daftar belanja bulanan yang sudah tersusun rapi.Â
Tiba-tiba, di tengah bulan, kamu memutuskan untuk membeli barang yang sama sekali tidak ada dalam daftar tersebut, dan pembeliannya pun dilakukan dengan tergesa-gesa. Tentu ada alasan kuat di baliknya, bukan?Â
Hal serupa terjadi pada revisi UU Minerba ini. Mengapa harus dikebut di saat yang tidak biasa? Mengapa tidak melalui prosedur yang semestinya, yaitu dimasukkan ke dalam Prolegnas?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini wajar muncul dan perlu dijawab secara transparan.
Proses Legislasi yang Janggal
Tidak hanya waktu pembahasannya yang menjadi sorotan, prosesnya pun dinilai janggal.Â
Rapat-rapat pembahasan revisi ini terkesan dilakukan secara terburu-buru, bahkan beberapa di antaranya diadakan secara tertutup. Padahal, pembuatan undang-undang seharusnya melibatkan partisipasi publik yang luas.Â
Masyarakat berhak memberikan masukan, menyampaikan aspirasi, dan mengawasi jalannya proses legislasi.Â
Proses yang tertutup tentu menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan mengenai transparansi.
Kita tentu masih ingat polemik seputar UU Cipta Kerja beberapa tahun lalu. Salah satu kritik utama terhadap UU tersebut adalah minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukannya.Â
Kekhawatiran serupa kembali muncul dalam kasus revisi UU Minerba ini. Proses yang terburu-buru dan tertutup berpotensi mengulang kesalahan yang sama.Â
Masyarakat kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dan memberikan masukan, padahal undang-undang ini nantinya akan berdampak pada kehidupan kita semua.