Banyak destinasi yang belum memiliki fasilitas memadai, seperti restoran bersertifikat halal, tempat ibadah, atau layanan ramah Muslim.Â
Misalnya, survei yang dilakukan oleh ToffeeDev menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pengusaha di sektor pariwisata yang memahami pentingnya sertifikasi halal sebagai daya tarik wisatawan Muslim.
Selain itu, wisata halal sering kali disalahartikan sebagai bentuk eksklusivitas agama tertentu. Padahal, konsep ini justru menekankan inklusivitas, yang berarti semua orang, terlepas dari agama, dapat menikmati layanan dan fasilitas yang berkualitas.Â
Di sinilah pentingnya edukasi publik untuk mengubah persepsi negatif dan mendorong pelaku usaha mengadopsi konsep wisata halal sebagai bagian dari strategi bisnis mereka.
Pendapat pribadi saya? Kita perlu lebih serius dalam memandang wisata halal sebagai peluang ekonomi, bukan sekadar kewajiban agama.Â
Dengan pasar wisatawan Muslim global yang diproyeksikan mencapai nilai belanja sebesar 200 miliar dolar AS pada tahun 2030 (Mastercard-CrescentRating), peluang ini terlalu besar untuk diabaikan.
Wisata Halal sebagai Pilar Bisnis Syariah
Melihat wisata halal dari sudut pandang bisnis syariah memberikan perspektif yang menarik.Â
Bisnis syariah bukan hanya soal profit, tetapi juga mengedepankan etika, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, wisata halal menjadi salah satu sektor yang paling relevan.
Pertama, potensi pasar yang besar. Dengan populasi Muslim dunia yang terus bertambah, kebutuhan akan layanan halal semakin meningkat.Â
Sebagai contoh, Lombok berhasil meraih julukan World’s Best Halal Tourism Destination pada World Halal Tourism Awards. Keberhasilan ini tidak lepas dari upaya pemerintah daerah dan pelaku usaha lokal dalam menyediakan fasilitas halal, seperti hotel syariah dan restoran bersertifikat.
Kedua, regulasi mendukung perkembangan sektor ini. Undang-Undang JPH yang mulai berlaku pada 2024 mewajibkan semua produk makanan dan minuman memiliki sertifikat halal.Â