Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Krisis Kultural Polri: Jalan Berliku Menuju Polisi Humanis

31 Desember 2024   17:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   16:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi citra Polri. (KOMPAS/DIDIE SW) 

Dugaan pemerasan oleh polisi mengungkap kegagalan reformasi kultural dan tantangan menuju institusi yang humanis. 

Tanggal 30 Desember 2024 mungkin akan diingat sebagai salah satu momen paling memalukan dalam sejarah Polri. 

Bayangkan saja, 18 anggota polisi dari Polda Metro Jaya, termasuk dua pejabat tingginya, terlibat dalam dugaan pemerasan terhadap warga Malaysia di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. 

Total kerugian? Sebuah angka fantastis: 9 juta ringgit Malaysia, setara dengan sekitar Rp 32,6 miliar. 

Bukan hanya jumlahnya yang bikin geleng-geleng, tetapi juga dampaknya terhadap citra kepolisian yang sudah lebih dulu babak belur di mata publik.

Doktrin Melindungi dan Melayani

Dalam doktrin yang sering diulang-ulang, polisi adalah pelindung masyarakat. Mereka diharapkan menjadi sosok humanis yang melayani dengan hati, bukan dengan intimidasi atau paksaan. 

Namun, kasus ini menunjukkan jurang yang menganga antara idealisme tersebut dan realitas di lapangan. 

Polisi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru terlibat dalam tindakan pemerasan yang sangat tidak etis. Tidak mengherankan jika reformasi kultural Polri sering dianggap gagal total.

Reformasi kultural, bagi banyak orang, adalah upaya membangun institusi kepolisian yang lebih manusiawi dan berintegritas. 

Tetapi, seperti yang dikatakan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, reformasi ini stagnan, bahkan cenderung mundur. 

Beliau menyoroti bagaimana moralitas anggota Polri yang seharusnya berubah, justru terjebak dalam pola lama yang sarat hedonisme dan kesewenang-wenangan.

Apa Kata Data?

Bukan hanya Mahfud MD yang merasa pesimis. Amnesty International mencatat 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh Polri sepanjang tahun 2024. 

Angka ini menjadi bukti nyata bahwa pelanggaran etika dan tindak pidana bukanlah kejadian langka dalam institusi ini. Pelanggaran seperti ini merusak kepercayaan publik yang sudah lama berada di titik nadir. 

Bahkan, kajian Universitas Indonesia dan Litbang Kompas menyebutkan bahwa meskipun ada masyarakat yang puas dengan kinerja Polri, sebagian besar tetap mengeluhkan lambatnya proses penyelidikan dan keterlibatan oknum dalam kejahatan.

Angka-angka ini jika dipikirkan lebih dalam, bukan hanya sekadar statistik. Mereka adalah refleksi dari kegagalan mendasar dalam sistem rekrutmen dan pelatihan polisi. 

Bagaimana mungkin institusi sebesar Polri, dengan anggaran yang tidak kecil, masih gagal memastikan bahwa anggotanya memahami dan menghormati hak asasi manusia?

Reformasi yang Masih Jauh Panggang dari Api

Kegagalan reformasi kultural Polri sebenarnya tidak datang begitu saja. 

Ada banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari sistem rekrutmen yang lebih mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, hingga pelatihan yang lebih fokus pada teknis daripada pembentukan karakter. 

Padahal, membangun polisi yang humanis tidak bisa dilakukan hanya dengan seragam baru atau slogan-slogan kosong. Ini adalah soal perubahan mendasar dalam pola pikir dan perilaku.

Sebagai contoh, dalam kasus DWP ini, 34 polisi dimutasi sebagai respons atas skandal tersebut. Namun, apakah mutasi ini cukup untuk mengubah budaya kerja di Polri? Jawabannya hampir pasti tidak. 

Mutasi, meskipun penting, hanyalah solusi jangka pendek. Apa yang dibutuhkan adalah evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan pelatihan, seperti yang disarankan oleh Amnesty International dan berbagai pakar lainnya.

Polri perlu memastikan bahwa setiap anggota, mulai dari level terendah hingga tertinggi, memahami bahwa tugas mereka adalah melindungi, bukan memeras. 

Tanpa komitmen untuk melakukan perubahan mendasar ini, reformasi kultural akan tetap menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.

Dampak Terhadap Kepercayaan Publik

Kasus seperti ini juga berdampak buruk pada kepercayaan publik. Ketika polisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum justru terlibat dalam pelanggaran hukum, masyarakat akan semakin sulit mempercayai institusi ini. 

Mengutip dari TribrataNews, dalam survei terpisah oleh Litbang Kompas, menyebutkan bahwa meskipun ada peningkatan kepuasan terhadap kinerja Polri, kritik terhadap lambatnya proses hukum dan pelanggaran etika tetap mendominasi.

Hal ini tidak hanya merugikan Polri, tetapi juga seluruh sistem hukum di Indonesia. 

Bagaimana masyarakat bisa merasa aman jika mereka tidak percaya pada institusi yang seharusnya melindungi mereka? 

Dan bagaimana pemerintah bisa mendorong reformasi hukum jika institusi penegak hukum sendiri terus terjebak dalam praktik korupsi dan pelanggaran etika?

Menuju Polisi yang Humanis

Untuk mencapai cita-cita polisi yang humanis, Polri membutuhkan perubahan besar. 

Ini bukan hanya soal mengganti pejabat atau mengeluarkan aturan baru. Ini adalah soal membangun kembali kepercayaan publik, memastikan integritas dalam setiap level institusi, dan menciptakan sistem yang benar-benar mendukung penegakan hukum yang adil dan transparan.

Seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD, reformasi kultural bukan hanya soal struktur, tetapi juga soal nilai-nilai. Polisi harus dididik untuk memahami bahwa mereka adalah pelindung, bukan pelanggar. 

Mereka harus menginternalisasi nilai-nilai integritas, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. 

Dan yang paling penting, mereka harus memahami bahwa tugas mereka adalah melayani masyarakat, bukan memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi.

Apakah Harapan Masih Ada?

Kasus DWP 2024 adalah cermin buram dari realitas Polri saat ini. 

Namun, ini juga bisa menjadi momen refleksi yang penting. Jika Polri benar-benar ingin berubah, mereka harus mulai dengan melihat ke dalam, mengidentifikasi akar masalah, dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memperbaikinya.

Reformasi kultural mungkin terasa seperti tugas yang mustahil, tetapi itu bukan alasan untuk menyerah. 

Dengan komitmen yang kuat dari pimpinan Polri, dukungan dari pemerintah, dan partisipasi aktif dari masyarakat, perubahan masih mungkin terjadi. 

Toh, seperti kata pepatah, perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah kecil. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Polri siap mengambil langkah itu?

Saya yakin jauh di dasar hati, rakyat Indonesia pada dasarnya masih cinta dan berharap besar pada Polri. Kita semua menginginkan hal yang sama, polisi yang benar-benar humanis, yang tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga di hati dan pikiran setiap anggotanya.

***

Referensi:

  • Kompas. (2024). Siapa yang efektif mengawasi polisi? Diambil dari https:  //nasional.  kompas.  com/read/2024/12/31/06000061/siapa-yang-efektif-mengawasi-polisi-?page=all
  • Tempo. (2024). Amnesty International Indonesia: Ada 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan Polri. Diambil dari https:  //www.tempo.co/hukum/amnesty-international-indonesia-ada-116-kasus-kekerasan-yang-diduga-dilakukan-polri-1179638
  • Kompas. (2024). Tak setuju Polri di bawah Kemendagri, PKB: Reformasi kultur bukan struktur. Diambil dari https:  //nasional.  kompas.  com/read/2024/12/02/14390041/tak-setuju-polri-di-bawah-kemendagri-pkb-reformasi-kultur-bukan-struktur
  • Kompas. (2024). 10 tahun Jokowi: Tantangan profesionalisme Polri dan TNI. Diambil dari https:  //nasional.  kompas.  com/read/2024/10/18/16334041/10-tahun-jokowi-tantangan-profesionalisme-polri-dan-tni?page=all
  • BBC. (2024). Warisan Jokowi: Ironi kemunduran demokrasi di tangan si ' ... Diambil dari https:  //www.bbc.com/indonesia/articles/c9901z9lp0go
  • Kompas. (2023). Kritik kinerja Polri, dari penegakan hukum hingga penyalahgunaan wewenang. Diambil dari https:  //www.kompas.id/baca/polhuk/2023/10/03/kritik-kinerja-polri-dari-penegakan-hukum-hingga-penyalahgunaan-wewenang
  • Tribratanews. (2024). Hasil survei citra naik 73,1%, Polri terus genjot kinerja dan pelayanan publik untuk masyarakat. Diambil dari https:  //tribratanews.sulteng.polri.go.id/2024/06/21/hasil-survei-citra-naik-731-polri-terus-genjot-kinerja-dan-pelayanan-publik-untuk-masyarakat/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun