Dugaan pemerasan oleh polisi mengungkap kegagalan reformasi kultural dan tantangan menuju institusi yang humanis.Â
Tanggal 30 Desember 2024 mungkin akan diingat sebagai salah satu momen paling memalukan dalam sejarah Polri.Â
Bayangkan saja, 18 anggota polisi dari Polda Metro Jaya, termasuk dua pejabat tingginya, terlibat dalam dugaan pemerasan terhadap warga Malaysia di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.Â
Total kerugian? Sebuah angka fantastis: 9 juta ringgit Malaysia, setara dengan sekitar Rp 32,6 miliar.Â
Bukan hanya jumlahnya yang bikin geleng-geleng, tetapi juga dampaknya terhadap citra kepolisian yang sudah lebih dulu babak belur di mata publik.
Doktrin Melindungi dan Melayani
Dalam doktrin yang sering diulang-ulang, polisi adalah pelindung masyarakat. Mereka diharapkan menjadi sosok humanis yang melayani dengan hati, bukan dengan intimidasi atau paksaan.Â
Namun, kasus ini menunjukkan jurang yang menganga antara idealisme tersebut dan realitas di lapangan.Â
Polisi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru terlibat dalam tindakan pemerasan yang sangat tidak etis. Tidak mengherankan jika reformasi kultural Polri sering dianggap gagal total.
Reformasi kultural, bagi banyak orang, adalah upaya membangun institusi kepolisian yang lebih manusiawi dan berintegritas.Â
Tetapi, seperti yang dikatakan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, reformasi ini stagnan, bahkan cenderung mundur.Â