Beliau menyoroti bagaimana moralitas anggota Polri yang seharusnya berubah, justru terjebak dalam pola lama yang sarat hedonisme dan kesewenang-wenangan.
Apa Kata Data?
Bukan hanya Mahfud MD yang merasa pesimis. Amnesty International mencatat 116 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh Polri sepanjang tahun 2024.Â
Angka ini menjadi bukti nyata bahwa pelanggaran etika dan tindak pidana bukanlah kejadian langka dalam institusi ini. Pelanggaran seperti ini merusak kepercayaan publik yang sudah lama berada di titik nadir.Â
Bahkan, kajian Universitas Indonesia dan Litbang Kompas menyebutkan bahwa meskipun ada masyarakat yang puas dengan kinerja Polri, sebagian besar tetap mengeluhkan lambatnya proses penyelidikan dan keterlibatan oknum dalam kejahatan.
Angka-angka ini jika dipikirkan lebih dalam, bukan hanya sekadar statistik. Mereka adalah refleksi dari kegagalan mendasar dalam sistem rekrutmen dan pelatihan polisi.Â
Bagaimana mungkin institusi sebesar Polri, dengan anggaran yang tidak kecil, masih gagal memastikan bahwa anggotanya memahami dan menghormati hak asasi manusia?
Reformasi yang Masih Jauh Panggang dari Api
Kegagalan reformasi kultural Polri sebenarnya tidak datang begitu saja.Â
Ada banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari sistem rekrutmen yang lebih mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, hingga pelatihan yang lebih fokus pada teknis daripada pembentukan karakter.Â
Padahal, membangun polisi yang humanis tidak bisa dilakukan hanya dengan seragam baru atau slogan-slogan kosong. Ini adalah soal perubahan mendasar dalam pola pikir dan perilaku.
Sebagai contoh, dalam kasus DWP ini, 34 polisi dimutasi sebagai respons atas skandal tersebut. Namun, apakah mutasi ini cukup untuk mengubah budaya kerja di Polri? Jawabannya hampir pasti tidak.Â
Mutasi, meskipun penting, hanyalah solusi jangka pendek. Apa yang dibutuhkan adalah evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan pelatihan, seperti yang disarankan oleh Amnesty International dan berbagai pakar lainnya.