Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Data, Realitas, dan Kebenaran Tersembunyi

29 Desember 2024   20:32 Diperbarui: 29 Desember 2024   20:32 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi analisis data (Gambar dibuat dengan bantuan SuperAI.id) 

Memahami jebakan korelasi palsu dalam data, pentingnya konteks sosial, dan risiko interpretasi keliru. 

Saat ini, data seolah menjadi kata kunci untuk semua hal. Apa pun masalahnya, solusinya sering kali dianggap ada pada "data". Kita cenderung mempercayai angka, grafik, atau tabel tanpa berpikir panjang. 

"Datanya ada, jadi pasti benar," begitu anggapan umum. Tapi, benarkah demikian? Dalam banyak kasus, data justru bisa menyesatkan, terutama jika kita mengabaikan konteks sosial atau kompleksitas realitas di baliknya.

Di sinilah muncul istilah "positivisme digital", sebuah pendekatan yang menganggap data empiris sebagai sumber kebenaran mutlak. 

Namun, menurut Dotedu.id, pendekatan ini sering kali menghasilkan jebakan yang dikenal sebagai "korelasi palsu" — hubungan yang tampak nyata tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar sebab-akibat.

Dari Positivisme ke Positivisme Digital

Positivisme bukanlah sebuah konsep baru. 

Di abad ke-19, Auguste Comte memperkenalkan filsafat ini dengan gagasan bahwa pengetahuan hanya valid jika didasarkan pada pengalaman empiris. 

Gagasan ini menjadi dasar bagi sosiologi modern dan terus berkembang hingga era big data dan kecerdasan buatan (AI). Dalam positivisme digital, data statistik menjadi alat utama untuk menemukan pola dan hubungan dalam berbagai fenomena.

Namun, seperti yang diungkapkan oleh Portal Garuda Kemdikbud, meskipun data dapat menunjukkan pola, tidak semua pola mencerminkan hubungan sebab-akibat. 

Misalnya, peningkatan penjualan TV yang berkorelasi dengan peningkatan penjualan celana jeans bukan berarti satu menyebabkan yang lain. Hubungan semacam ini hanyalah kebetulan statistik, tanpa dasar kausalitas.

Risiko Korelasi Palsu dalam Analisis Big Data

Korelasi palsu adalah salah satu jebakan utama dalam analisis big data. 

DotEdu.id menjelaskan bahwa korelasi palsu terjadi ketika dua variabel tampak terkait tetapi sebenarnya tidak memiliki hubungan langsung. 

Contoh yang sering dikutip adalah hubungan antara tingkat kriminalitas di Texas dengan komunitas kulit hitam. Korelasi ini bisa muncul karena faktor lain, seperti kemiskinan atau kurangnya akses pendidikan, yang tidak terlihat dalam data mentah.

Contoh lain yang lebih dekat dengan kita adalah kasus kanker otak di Indonesia. Menurut Portal Garuda Kemdikbud, hampir semua penderita kanker otak di Indonesia adalah pemakan nasi. Apakah ini berarti nasi menyebabkan kanker otak? Tentu tidak. 

Hubungan ini muncul karena nasi adalah makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa data tanpa konteks sosial dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan.

Pentingnya Memahami Konteks dalam Data

Big data sering kali dipuji karena kemampuannya untuk mengungkap pola yang tidak terlihat sebelumnya. Namun, tanpa pemahaman konteks sosial, pola-pola ini bisa menjadi jebakan. 

Academia.edu menekankan bahwa data hanya mencatat apa yang terlihat, tetapi tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai contoh, kebiasaan menggigit kuku mungkin terlihat berkorelasi dengan kecerdasan. 

Namun, apakah menggigit kuku benar-benar menunjukkan kecerdasan, ataukah itu hanya respons terhadap stres? Jawabannya membutuhkan analisis yang lebih dalam.

Di Indonesia, data sering digunakan untuk mendukung kebijakan atau keputusan besar. Misalnya, data tentang kemacetan di Jakarta sering kali menjadi alasan untuk membangun jalan tol. 

Tapi apakah benar jalan tol adalah solusi terbaik? Tanpa mempertimbangkan pola transportasi publik, budaya kerja, dan urbanisasi, kita hanya mendapatkan solusi yang dangkal.

Solusi: Pendekatan Holistik dan Kritis terhadap Data

Untuk menghindari jebakan korelasi palsu, kita perlu mengadopsi pendekatan holistik. Ini berarti melihat data sebagai bagian dari keseluruhan cerita, bukan sebagai kebenaran mutlak. 

Academia.edu merekomendasikan untuk selalu mempertimbangkan faktor sosial, budaya, dan politik saat menganalisis data. Hal ini penting agar kita bisa memahami konteks di balik angka-angka tersebut.

Selain itu, peneliti dan analis data harus lebih kritis terhadap data yang mereka gunakan. 

Portal Garuda Kemdikbud mencatat bahwa bias sering kali muncul dalam proses pengumpulan data. Misalnya, survei yang dilakukan secara online mungkin tidak mewakili masyarakat pedesaan yang tidak memiliki akses internet. 

Oleh karena itu, penting untuk selalu menguji ulang hasil analisis dan mempertimbangkan kemungkinan bias.

Data adalah Alat, Bukan Kebenaran Mutlak

Sebagai kesimpulan, data adalah alat yang sangat berguna untuk memahami dunia, tetapi alat ini tidak sempurna. Korelasi palsu adalah pengingat bahwa tidak semua yang tampak nyata dalam data benar-benar mencerminkan realitas. 

Dengan pendekatan yang kritis dan holistik, kita bisa memanfaatkan potensi besar big data dan AI tanpa terjebak dalam kesalahan interpretasi.

Mari kita jadikan data sebagai awal dari pemahaman, bukan akhir dari pencarian kebenaran. Dengan begitu, kita bisa menggunakan data untuk menciptakan solusi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

***

Referensi:

  • Dotedu.id. (n.d.). Apa itu Spurious Correlation? Diakses dari https: //dotedu. id/apa-itu-spurious-correlation
  • Academia.edu. (n.d.). Materi Statistika Dasar: Analisis Korelasi dan Regresi. Diakses dari https: //www. academia. edu/36649169/Materi_Statistika_Dasar_Analisis_Korelasi_dan_Regresi
  • Portal Garuda Kemdikbud. (n.d.). Kritik terhadap Paradigma Positivisme. Diakses dari https: //download. garuda. kemdikbud. go. id/article.php?article=696730&title=KRITIK+TERHADAP+PARADIGMA+POSITIVISME&val=11133

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun