Korelasi palsu adalah salah satu jebakan utama dalam analisis big data.Â
DotEdu.id menjelaskan bahwa korelasi palsu terjadi ketika dua variabel tampak terkait tetapi sebenarnya tidak memiliki hubungan langsung.Â
Contoh yang sering dikutip adalah hubungan antara tingkat kriminalitas di Texas dengan komunitas kulit hitam. Korelasi ini bisa muncul karena faktor lain, seperti kemiskinan atau kurangnya akses pendidikan, yang tidak terlihat dalam data mentah.
Contoh lain yang lebih dekat dengan kita adalah kasus kanker otak di Indonesia. Menurut Portal Garuda Kemdikbud, hampir semua penderita kanker otak di Indonesia adalah pemakan nasi. Apakah ini berarti nasi menyebabkan kanker otak? Tentu tidak.Â
Hubungan ini muncul karena nasi adalah makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa data tanpa konteks sosial dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan.
Pentingnya Memahami Konteks dalam Data
Big data sering kali dipuji karena kemampuannya untuk mengungkap pola yang tidak terlihat sebelumnya. Namun, tanpa pemahaman konteks sosial, pola-pola ini bisa menjadi jebakan.Â
Academia.edu menekankan bahwa data hanya mencatat apa yang terlihat, tetapi tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai contoh, kebiasaan menggigit kuku mungkin terlihat berkorelasi dengan kecerdasan.Â
Namun, apakah menggigit kuku benar-benar menunjukkan kecerdasan, ataukah itu hanya respons terhadap stres? Jawabannya membutuhkan analisis yang lebih dalam.
Di Indonesia, data sering digunakan untuk mendukung kebijakan atau keputusan besar. Misalnya, data tentang kemacetan di Jakarta sering kali menjadi alasan untuk membangun jalan tol.Â
Tapi apakah benar jalan tol adalah solusi terbaik? Tanpa mempertimbangkan pola transportasi publik, budaya kerja, dan urbanisasi, kita hanya mendapatkan solusi yang dangkal.
Solusi: Pendekatan Holistik dan Kritis terhadap Data
Untuk menghindari jebakan korelasi palsu, kita perlu mengadopsi pendekatan holistik. Ini berarti melihat data sebagai bagian dari keseluruhan cerita, bukan sebagai kebenaran mutlak.Â