Kenyataannya, proses hukum yang terhambat ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum yang berlarut-larut dan merugikan banyak pihak, terutama masyarakat yang menginginkan keadilan.
Tekanan dari DPR dan MAKI
Tidak hanya masyarakat biasa, DPR dan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) juga menuntut agar kasus ini segera diselesaikan.Â
Menurut Tribun News (2024), DPR bahkan mengeluarkan desakan agar Polda Metro Jaya segera menuntaskan kasus ini, termasuk kemungkinan menjemput paksa Firli karena ia telah dua kali mangkir.Â
Ketegasan DPR ini menegaskan bahwa proses hukum terhadap pejabat tinggi tidak boleh ada perlakuan khusus.Â
Bagi DPR, tidak ada alasan bagi proses hukum untuk lambat, apalagi jika yang terlibat adalah mantan Ketua KPK yang harusnya menjadi contoh dalam penegakan hukum.
Selain itu MAKI, yang dikenal sebagai organisasi yang mendukung pemberantasan korupsi, juga ikut bergerak dengan mengajukan permohonan praperadilan kedua untuk menentang penghentian kasus yang dianggap tidak sah (Kompas.com, 2024).Â
Ini menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas sangat kuat, dan mereka tidak akan membiarkan kasus ini berlalu begitu saja tanpa kejelasan.
Ketegangan Antara Penegakan Hukum dan Politik
Apa yang terjadi dengan proses hukum terhadap Firli Bahuri ini sebenarnya mencerminkan ketegangan besar antara penegakan hukum dan politik.Â
Tidak bisa dipungkiri, Firli adalah figur penting dalam institusi negara, dan keterlibatannya dalam kasus ini tentu saja memunculkan pertanyaan besar tentang apakah ada kekuatan politik yang mencoba mempengaruhi jalannya proses hukum.Â
Mengingat latar belakangnya yang pernah memimpin KPK, penanganan kasus ini sangat sensitif.Â
Lambannya proses hukum ini bisa dianggap sebagai indikasi adanya campur tangan politik yang mencoba mempengaruhi jalannya penyidikan.