Gus Miftah, menurut sahabat dekatnya, Gus Yusuf Chudhory, dikenal dengan gaya komunikasi santai dan sering melontarkan guyonan di hadapan jamaah.Â
Dalam suasana informal seperti pengajian, seseorang mungkin merasa lebih bebas dalam berbicara.Â
Namun, masalah muncul ketika candaan tersebut tidak dianggap lucu oleh sebagian orang.
Fenomena ini bisa dijelaskan dengan konsep "titik buta sosial" (social blind spot). Seseorang dengan posisi sosial tinggi sering kali tidak menyadari dampak ucapan atau tindakan mereka terhadap orang lain.Â
Mereka mungkin merasa bahwa ucapan mereka wajar dan tidak menyinggung siapapun, namun di mata masyarakat, hal tersebut bisa sangat berbeda.Â
Kata-kata kasar yang dianggap ringan dalam kelompok tertentu dapat memunculkan persepsi negatif, terutama bagi mereka yang tidak mengetahui konteks atau nuansa percakapan tersebut, seperti yang dijelaskan dalam buku Social Psychology oleh David Myers.
Fenomena serupa juga terjadi pada 2022 di Malaysia, ketika seorang tokoh masyarakat mengkritik pedagang es teh dengan kata-kata kasar yang akhirnya memicu kontroversi.Â
Kejadian tersebut menegaskan pentingnya sensitivitas dalam berbicara, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh besar di masyarakat (Suara.com, 2024).
Merusak Citra dan Reputasi
Insiden ini tentu memiliki dampak jangka panjang bagi Gus Miftah, baik secara pribadi maupun sebagai figur publik.Â
Di dunia digital yang serba cepat ini, setiap ucapan atau tindakan seorang figur publik akan langsung menjadi sorotan.Â
Video yang beredar dan mendapatkan hampir 500 ribu tayangan bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja.Â