Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Golput di Pilkada 2024: Penyebab dan Dampak

30 November 2024   15:00 Diperbarui: 30 November 2024   14:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada 2024 di Indonesia menghadapi masalah serius, yakni tingginya angka golput. 

KPU mencatat partisipasi pemilih hanya 68,16%, jauh lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 yang mencapai 81,78%. 

Partisipasi pemilih yang rendah menunjukkan adanya masalah dalam proses demokrasi kita. 

Idealnya, partisipasi tinggi mencerminkan kesadaran politik yang baik. 

Namun jika melihat rendahnya partisipasi ini, kita harus bertanya, apa yang menyebabkan tingginya angka golput ini? Apa yang terjadi pada proses demokrasi kita?

Sosialisasi yang Kurang Efektif dan Durasi Kampanye yang Terbatas

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang efektif dan durasi kampanye yang terbatas. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun Pilkada adalah ajang politik besar, sosialisasi dari KPU dan partai politik (parpol) tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 

Kampanye yang singkat juga tidak memberi cukup waktu bagi pemilih untuk memahami calon-calon yang maju. 

Akibatnya, banyak pemilih merasa bingung dan tidak tahu siapa yang harus dipilih. 

Beberapa bahkan memilih golput karena merasa tidak ada calon yang sesuai dengan aspirasi mereka.

Analisis BRIN , dalam referensi yang sama, menyoroti bahwa kurangnya representasi yang memadai dari calon-calon yang ada menjadi masalah besar dalam Pilkada 2024. 

Masyarakat merasa bahwa calon yang tersedia tidak mewakili kebutuhan atau harapan mereka, yang akhirnya menyebabkan ketidakpedulian terhadap proses pemilihan, meskipun itu adalah bagian penting dari demokrasi.

Kelelahan Sosial Pasca-Pemilu Nasional

Setelah Pilpres 2024 yang penuh dinamika, kelelahan sosial menjadi faktor penting penyebab golput dalam Pilkada 2024. 

Banyak masyarakat yang merasa lelah dan tidak tertarik untuk kembali berpartisipasi dalam pemilihan daerah. 

Kelelahan ini diperburuk oleh kampanye yang kurang menarik atau bahkan adanya calon tunggal, sehingga mempengaruhi motivasi pemilih. 

Selain itu, panjangnya periode pemilu nasional juga menambah rasa jenuh. 

Kondisi ini menandakan bahwa sistem pemilu harus lebih sensitif terhadap kebutuhan sosial masyarakat agar tidak memperburuk angka golput, yang berisiko merugikan keberlanjutan demokrasi Indonesia.

Konfigurasi Politik yang Membingungkan

Konfigurasi politik yang membingungkan juga turut menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih. 

Di beberapa daerah, seperti yang dilaporkan oleh JPPR, partisipasi bahkan di bawah 50%. 

Salah satu penyebab utama adalah fenomena calon tunggal. 

Ketika hanya ada satu calon, pemilih merasa pilihan demokratis sangat terbatas dan kurang menarik. 

Hal ini mengurangi motivasi mereka untuk menggunakan hak pilih. 

Fenomena serupa juga terjadi di negara lain, di mana pemilihan dengan hanya satu calon sering kali meningkatkan angka golput. 

Di negara berkembang, kurangnya kompetisi politik terbuka antara calon atau partai membuat pemilih merasa tidak terlibat, yang berujung pada rendahnya partisipasi dalam pemilu.

Dampak Jangka Panjang Terhadap Demokrasi

Tingginya angka golput memberikan dampak jangka panjang yang signifikan terhadap demokrasi di Indonesia. 

Partisipasi aktif dari masyarakat sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi. 

Jika semakin banyak orang yang tidak terlibat dalam pemilu, maka sulit untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. 

Menurut penelitian Richard W. Frank dan Ferran Martínez i Coma dalam artikel Correlates of Voter Turnout (2021), durasi kampanye yang panjang dan sosialisasi yang intensif dapat meningkatkan partisipasi pemilih. 

Jika kampanye lebih terstruktur dan pemilih mendapatkan informasi yang jelas, mereka lebih cenderung untuk berpartisipasi. 

Selain itu, Shane P. Singh dalam bukunya Beyond Turnout: How Compulsory Voting Shapes Citizens and Political Parties (2021) juga menyarankan pemungutan suara wajib sebagai cara untuk meningkatkan partisipasi, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki preferensi khusus terhadap calon tertentu. 

Semua faktor ini penting untuk memastikan demokrasi tetap berjalan sehat dan representatif.

Mereformasi Sistem Pemilu untuk Meningkatkan Partisipasi

Untuk meningkatkan partisipasi pemilih di Pilkada 2024 dan pemilu mendatang, reformasi sistem pemilu sangat diperlukan. Partai politik harus lebih selektif dalam memilih calon yang mewakili aspirasi masyarakat. 

KPU juga perlu lebih aktif dalam menyelenggarakan sosialisasi yang efektif dan memperpanjang durasi kampanye, agar pemilih memiliki cukup waktu untuk memahami calon yang ada. 

Reformasi ini penting tidak hanya untuk meningkatkan partisipasi, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas demokrasi. 

Partisipasi yang rendah hanya akan memperburuk ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi kita.

Kesimpulan

Tingginya angka golput dalam Pilkada 2024 menggambarkan masalah serius dalam demokrasi Indonesia. 

Faktor-faktor seperti sosialisasi yang kurang efektif, durasi kampanye yang singkat, kelelahan sosial pasca-pemilu, dan konfigurasi politik yang membingungkan, semuanya berkontribusi pada rendahnya partisipasi pemilih. 

Berdasarkan analisis berbagai sumber, jelas bahwa reformasi sistem pemilu dan strategi kampanye sangat diperlukan. 

Namun, jika partisipasi tetap rendah, bisakah kita benar-benar yakin bahwa suara rakyat tercermin dalam kebijakan yang diambil?

***

Referensi:

  • Badan Pusat Statistik. (2024, Februari 28). Statistik Indonesia 2024. [https: //www. bps. go. id/id/publication/2024/02/28/c1bacde03256343b2bf769b0/statistik-indonesia-2024.html]
  • Singh, S. P. (2021). Beyond Turnout: How Compulsory Voting Shapes Citizens and Political Parties. [https: //academic. oup. com/book/39934]
  • Frank, R. W., & Martínez i Coma, F. (2021). Correlates of voter turnout. Political Behavior. [https: //link. springer. com/article/10.1007/s11109-021-09720-y]
  • Blais, A., & Dobrzynska, A. (2021). Is compulsory voting a solution to low and declining turnout? Cross-national evidence since 1945. Political Science Research and Methods. [https: //www. cambridge. org/core/journals/political-science-research-and-methods/article/is-compulsory-voting-a-solution-to-low-and-declining-turnout-crossnational-evidence-since-1945/4ED6699B791F437FDFDC13D7A12D483E]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun