Padahal, kenyataannya, ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan dapat berujung pada masalah kesehatan mental yang lebih besar di kemudian hari, yang sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat.
Maskulinitas Toksik dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Pria
Di balik fenomena laki-laki tidak bercerita ini, kita melihat adanya pengaruh besar dari konsep maskulinitas toksik, yang menjadikan pria terjebak dalam tekanan sosial yang mengharuskan mereka menahan segala bentuk emosi atau kerentanan.Â
Dalam budaya maskulinitas toksik, pria diajarkan bahwa perasaan mereka harus disembunyikan dan bahwa tidak ada tempat untuk mengekspresikan diri mereka secara terbuka.Â
Hal ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.
Angka bunuh diri pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita adalah salah satu bukti nyata dari dampak negatif maskulinitas toksik.Â
Menurut Media Indonesia, tingkat bunuh diri pria di negara-negara yang lebih menganut budaya maskulinitas tradisional, seperti Indonesia, masih cukup tinggi.Â
Ini berbeda dengan negara-negara seperti Skandinavia yang lebih terbuka terhadap ekspresi emosional, di mana pria merasa lebih bebas untuk berbicara dan menunjukkan perasaan mereka tanpa takut dianggap lemah.Â
Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara tersebut, tingkat bunuh diri pria jauh lebih rendah, karena masyarakatnya lebih mendukung para pria untuk berbagi perasaan dan mencari dukungan ketika mereka mengalami tekanan emosional.
Kembali ke Indonesia, ketidakmampuan untuk berbicara sering kali menyebabkan pria merasa terisolasi dalam kesedihan mereka, yang berpotensi menambah beban mental.Â
Padahal, berbicara dengan orang terdekat bisa meringankan stres, membantu kita melihat situasi dengan perspektif yang berbeda, dan memperbaiki keadaan mental yang tertekan.Â
Berbicara juga merupakan cara untuk menyadari bahwa masalah yang kita hadapi mungkin lebih mudah dihadapi jika kita tidak melakukannya sendirian.