Namun, masalahnya tidak berhenti di sana. Masyarakat kita memiliki kebiasaan yang perlu diubah.Â
Budaya orang Indonesia yang cenderung mengutamakan gimmick atau drama dalam menilai topik dan kebijakan harus diganti dengan pendekatan yang lebih berbasis rasionalitas dan data.Â
Upaya meningkatkan kemampuan membaca, menambah wawasan, serta mendukung pendidikan yang berkualitas adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi tantangan ini.
Hanya dengan masyarakat yang cerdas dan literasi yang kuat, kita bisa menciptakan ruang digital yang sehat dan demokrasi yang berfungsi sebagaimana mestinya.
Kesimpulan
Fenomena buzzer adalah refleksi buram dari demokrasi yang terancam kehilangan ruhnya.Â
Ketika teknologi, yang semestinya menjadi alat pemberdayaan, berubah menjadi senjata untuk melanggengkan dominasi elite, rakyat kecil seperti kita tak boleh tinggal diam.Â
Perlawanan tidak datang dari kebencian, melainkan dari kesadaran. Kesadaran untuk bertanya, menggali, dan memahami.Â
Apakah informasi yang kita terima benar-benar murni? Ataukah ia lahir dari kepentingan tersembunyi yang mendikte arah pandang kita?
Media sosial, yang seharusnya menjadi alun-alun kebebasan berpikir dan berdiskusi, kini terasa sempit.Â
Ruang publik digital kita dipenuhi narasi yang didesain untuk mengaburkan kebenaran dan memperkuat polarisasi.Â
Demokrasi dengan segala kompleksitasnya, seharusnya untuk kebaikan rakyat. Ia membutuhkan partisipasi, bukan sekadar pengamatan pasif.