Media sosial saat ini menyerupai pasar induk yang penuh dengan aktivitas. Ramai, riuh, dan dipenuhi berbagai suara yang berlomba menarik perhatian. Namun layaknya pasar, tidak semua suara yang kita dengar itu asli.Â
Dalam dunia digital, fenomena buzzer atau pasukan siber muncul sebagai bagian tak terpisahkan. Menghadirkan fenomena yang menurut saya mengkhawatirkan.Â
Operasi buzzer sering kali memanipulasi opini publik secara terorganisir. Dampaknya destruktif, fondasi demokrasi kita terguncang oleh upaya sistematis untuk mengarahkan, bahkan mengontrol narasi di ruang publik.
Apa Itu Buzzer dan Mengapa Mereka Penting?
Buzzer bukan hanya sekadar akun anonim yang berseliweran di linimasa, menggaungkan opini tanpa wajah. Mereka adalah kepingan dari sebuah operasi pengaruh yang terorganisasi, senyap namun penuh daya, dengan tujuan mengendalikan opini publik di ruang maya.Â
Berdasarkan kajian dari Monash University dan artikel Tirto.id, operasi ini telah mengakar kuat di Indonesia selama lima tahun terakhir.Â
Dari hingar-bingar Pemilu 2019, perubahan besar dalam revisi UU KPK, hingga hiruk-pikuk kebijakan kontroversial seperti UU Cipta Kerja, para buzzer ini menjelma menjadi aktor tak kasat mata yang memainkan narasi dari balik layar.Â
Mereka ibarat bayangan, bergerak dalam diam, namun mencengkeram ruang publik dengan narasi yang telah dirancang.
Sumber pendanaan mereka pun beragam. Ada yang berasal dari pemerintah untuk memuluskan kebijakan, ada pula dari politikus dan partai politik yang ingin membangun citra.Â
Bahkan, beberapa pengusaha turut membiayai operasi ini demi keuntungan kebijakan di masa depan. Menciptakan jaringan rumit antara kekuasaan, uang, dan teknologi.
Ketika Informasi Menjadi Alat Kekuasaan
Informasi, sejatinya, adalah lentera yang memberdayakan.Â
Namun, di tangan buzzer, ia berubah menjadi senjata kekuasaan, membangun narasi yang memoles citra atau meruntuhkan pihak lain.Â
Dengan data rahasia yang mereka kendalikan, ruang diskusi publik yang sehat terdistorsi menjadi arena polarisasi dan manipulasi.
Bayangkan, saat kita mencoba memahami kebijakan seperti UU Cipta Kerja, yang muncul di media sosial adalah perdebatan sengit, penuh sentimen emosional, bahkan serangan pribadi.Â
Ruang komentar kehilangan maknanya sebagai tempat diskusi, berganti menjadi medan pertarungan opini yang disetir oleh strategi pasukan siber.
Salah satu dampak terbesar dari operasi buzzer adalah meningkatnya polarisasi sosial.Â
Dengan narasi yang terus memecah belah, masyarakat menjadi semakin terfragmentasi. Pro-kontra kebijakan berubah menjadi konflik emosional yang sulit dijembatani.
Tidak hanya itu, kepercayaan publik terhadap media dan institusi demokrasi juga tergerus.Â
Ketika opini yang muncul di media sosial terasa tidak autentik, bagaimana kita bisa percaya pada informasi yang ada?Â
Menurut Monash University, fenomena ini memperkuat skeptisisme publik terhadap media arus utama yang dianggap berafiliasi dengan kekuasaan.
Mengatasi Manipulasi Opini Publik di Era Digital
Menghadapi fenomena buzzer yang kian meresahkan, kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Ada dua langkah strategis yang harus segera diambil: regulasi yang tegas dan peningkatan literasi digital.
Pertama, regulasi yang kuat diperlukan untuk memastikan penggunaan buzzer dalam politik tidak disalahgunakan. Pemerintah harus transparan dalam penggunaan anggaran untuk komunikasi publik, sehingga tidak ada ruang bagi dana rakyat digunakan untuk membayar operasi pengaruh yang sebenarnya justru merugikan mereka. Transparansi ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Kedua, literasi digital masyarakat harus menjadi prioritas. Kita perlu mengajarkan masyarakat cara mengenali informasi palsu, menilai fakta secara rasional, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi emosional. Langkah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kewajiban kita sebagai warga negara. Media sosial telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari, dan kemampuan untuk memilah informasi dengan bijak adalah keterampilan yang tidak bisa ditawar.
Namun, masalahnya tidak berhenti di sana. Masyarakat kita memiliki kebiasaan yang perlu diubah.Â
Budaya orang Indonesia yang cenderung mengutamakan gimmick atau drama dalam menilai topik dan kebijakan harus diganti dengan pendekatan yang lebih berbasis rasionalitas dan data.Â
Upaya meningkatkan kemampuan membaca, menambah wawasan, serta mendukung pendidikan yang berkualitas adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi tantangan ini.
Hanya dengan masyarakat yang cerdas dan literasi yang kuat, kita bisa menciptakan ruang digital yang sehat dan demokrasi yang berfungsi sebagaimana mestinya.
Kesimpulan
Fenomena buzzer adalah refleksi buram dari demokrasi yang terancam kehilangan ruhnya.Â
Ketika teknologi, yang semestinya menjadi alat pemberdayaan, berubah menjadi senjata untuk melanggengkan dominasi elite, rakyat kecil seperti kita tak boleh tinggal diam.Â
Perlawanan tidak datang dari kebencian, melainkan dari kesadaran. Kesadaran untuk bertanya, menggali, dan memahami.Â
Apakah informasi yang kita terima benar-benar murni? Ataukah ia lahir dari kepentingan tersembunyi yang mendikte arah pandang kita?
Media sosial, yang seharusnya menjadi alun-alun kebebasan berpikir dan berdiskusi, kini terasa sempit.Â
Ruang publik digital kita dipenuhi narasi yang didesain untuk mengaburkan kebenaran dan memperkuat polarisasi.Â
Demokrasi dengan segala kompleksitasnya, seharusnya untuk kebaikan rakyat. Ia membutuhkan partisipasi, bukan sekadar pengamatan pasif.
Maka, untuk menjaganya, kita harus memulai dari diri sendiri.Â
Menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan kritis, membangun kebiasaan untuk membaca dengan jeli, menambah wawasan, dan menggali fakta sebelum mengambil kesimpulan.Â
Karena demokrasi tidak akan mati oleh suara yang terlalu sedikit, tetapi oleh kebohongan yang terlalu nyaring.
***
Referensi:
- Monash University. (2022). Indonesia's social media buzzers: Cashing in from pushing 2024 election propaganda.
- Tirto.id. (2024). Pemilu tiba, saatnya industri buzzer politik panen cuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H