Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Pretty Pantry Bikin Dapur Estetik, tapi Tidak Ramah Lingkungan

26 November 2024   18:00 Diperbarui: 26 November 2024   18:01 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pretty Pantry (Gambar diolah dengan Dall-E) 

Ketika dapur mulai beralih fungsi menjadi ruang pamer estetika, saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kita cari? 

Dulu, dapur adalah pusat kesederhanaan. Tempat ibu menyimpan toples berisi kerupuk, gula, dan kopi tanpa memikirkan keseragaman warna atau bentuknya. 

Kini, dapur justru menjadi elemen gaya hidup visual, terutama bagi generasi Milenial dan Gen Z. Fenomena ini dikenal sebagai Pretty Pantry Paradigm.

Di permukaan, hal ini tampak seperti perubahan sederhana. Dapur, dengan segala tumpukan alat masak dan makanan instan, berubah menjadi ruang tertata dengan palet warna netral dan barang-barang seragam yang Instagrammable! 

Tetapi, pretty pantry paradigm bukan hanya soal estetika. Ini tentang bagaimana konsumsi berubah dari kebutuhan menjadi seni visual, yang punya sisi gelap yang patut kita kritisi.

Dari Fungsi ke Estetika

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Media sosial adalah salah satu aktor utama. 

Generasi muda kerap terinspirasi dari gaya hidup keluarga Kardashian-Jenner, influencer dan pengusaha Amerika Serikat, yang mempopulerkan dapur rapi berwarna netral dengan rak seragam. 

Influencer di Instagram dan TikTok juga tidak ketinggalan, memamerkan dapur yang begitu teratur hingga seolah tidak pernah dipakai.

Tren ini akhirnya berdampak pada industri. 

Perusahaan seperti Lee Kum Kee, menurut laporan dari Lancet Planetary Health melalui Earth Commission (2024), mulai mendesain ulang kemasan produk mereka agar lebih menarik bagi pasar muda. 

Bahkan, produsen alat dapur berlomba-lomba membuat toples, botol, dan rak dengan desain minimalis dan warna monokrom. 

Secara sekilas, ini adalah respons kreatif terhadap kebutuhan pasar. 

Tapi apakah ini benar-benar kebutuhan, atau hanya upaya menciptakan kebutuhan baru demi profit?

Antara Gaya Hidup dan Konsumerisme

Ilustrasi Pretty Pantry (Gambar diolah dengan Dall-E) 
Ilustrasi Pretty Pantry (Gambar diolah dengan Dall-E) 
Saya tidak menafikan bahwa dapur yang indah dan rapi memberikan kepuasan tersendiri. Saya pun suka melihat barang-barang di rumah tersusun rapi. 

Tapi, tren seperti Pretty Pantry Paradigm membawa masalah yang sering luput dari perhatian, yaitu konsumerisme yang tidak berkelanjutan, alias tidak ramah lingkungan.

Laporan yang sama dari Lancet Planetary Health menunjukkan bahwa pola konsumsi seperti ini berkontribusi pada krisis lingkungan. 

Barang-barang yang dibeli untuk mendukung estetika dapur, mulai dari toples seragam hingga rak tambahan, memerlukan sumber daya untuk produksi. 

Ini berarti lebih banyak bahan baku yang diambil, lebih banyak limbah yang dihasilkan, dan lebih banyak emisi karbon dilepaskan. 

Sama seperti fast fashion, Pretty Pantry Paradigm memunculkan siklus konsumsi berlebihan, yang hanya berakhir pada tumpukan sampah.

Lebih jauh lagi, budaya konsumerisme ini menekan individu untuk terus membeli, meski sebenarnya tidak perlu. 

Banyak orang merasa perlu mengganti barang yang sudah ada, hanya karena tidak cocok dengan tema dapur mereka. 

Hal ini tidak hanya membebani lingkungan, tetapi juga menguras kantong. 

Sebuah tren yang terlihat sederhana, ternyata membawa dampak besar pada ekosistem dan masyarakat.

Dampak di Indonesia: Dari Kota ke Desa

Di Indonesia, budaya Pretty Pantry Paradigm mulai merambah kelas menengah perkotaan. 

Saya melihat sendiri, bagaimana teman-teman saya di media sosial memamerkan toples baru yang dibeli demi menyesuaikan tone warna dapur. 

Bagi mereka yang mampu, ini mungkin sekadar pembelian biasa. Namun bagi sebagian orang, tren ini bisa menciptakan tekanan sosial untuk ikut-ikutan.

Kita juga perlu mempertimbangkan konteks sosial di Indonesia. 

Dapur tradisional Indonesia adalah dapur fungsional. Di daerah pinggiran atau pedesaan, dapur adalah area yang selalu sibuk. 

Dapur adalah ruang penuh aktivitas. Memasak dengan kayu bakar atau minyak tanah, menyimpan hasil panen dan bahan makanan, sampai membuat bumbu. 

Ketika estetika mulai menginvasi dapur, apakah kita perlahan kehilangan sentuhan tradisional itu? Apakah semua orang perlu menyesuaikan diri dengan tren global, tanpa mempertimbangkan lokalitas dan nilai budaya?

Menjaga Keseimbangan

Saya bukan orang yang anti-estetika. Saya percaya bahwa ruang yang rapi dan indah bisa meningkatkan produktivitas dan kebahagiaan. 

Tapi, kita harus bijak dalam mengikuti tren. Pretty Pantry Paradigm tidak harus menjadi alasan untuk membeli barang baru. 

Sebaliknya, kita bisa memanfaatkan apa yang sudah ada. Toples bekas selai atau kaleng susu, misalnya, bisa diubah menjadi wadah serbaguna. Bukan hanya hemat, tetapi juga ramah lingkungan.

Produsen juga perlu mengambil langkah lebih bertanggung jawab. Misalnya, menciptakan produk yang berbahan daur ulang atau mudah terurai. 

Jika konsumen mulai menuntut keberlanjutan, produsen pasti akan menyesuaikan diri. 

Di sisi lain, pemerintah dan organisasi lingkungan dapat mempromosikan edukasi tentang konsumsi berkelanjutan, agar tren ini tidak menjadi bencana lingkungan di masa depan.

Tren atau Pilihan?

Pretty Pantry Paradigm pada dasarnya adalah cerminan zaman. Di era media sosial, estetika menjadi salah satu kebutuhan yang dirasa wajib. 

Tapi pertanyaannya adalah, apakah kita mengikuti tren ini karena benar-benar membutuhkannya, atau karena tekanan sosial? 

Dan yang lebih penting, apakah upaya menciptakan dapur estetik ini sepadan dengan dampaknya pada lingkungan?

Sebagai konsumen, kita punya tanggung jawab untuk memilih dengan bijak. Dan sebagai masyarakat, kita perlu merefleksikan apa yang sebenarnya penting. 

Jangan sampai dapur, yang seharusnya menjadi tempat kehangatan keluarga, berubah menjadi panggung konsumerisme yang tanpa batas.

***

Referensi:

  • Earth Commission. (2024). Konsumerisme dan perubahan iklim ancam masa depan adil bagi manusia. Lancet Planetary Health. Kompas.com
  • Idemu. (2024). Tren kitchen set tahun 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun