Secara sekilas, ini adalah respons kreatif terhadap kebutuhan pasar.Â
Tapi apakah ini benar-benar kebutuhan, atau hanya upaya menciptakan kebutuhan baru demi profit?
Antara Gaya Hidup dan Konsumerisme
Saya tidak menafikan bahwa dapur yang indah dan rapi memberikan kepuasan tersendiri. Saya pun suka melihat barang-barang di rumah tersusun rapi.Â
Tapi, tren seperti Pretty Pantry Paradigm membawa masalah yang sering luput dari perhatian, yaitu konsumerisme yang tidak berkelanjutan, alias tidak ramah lingkungan.
Laporan yang sama dari Lancet Planetary Health menunjukkan bahwa pola konsumsi seperti ini berkontribusi pada krisis lingkungan.Â
Barang-barang yang dibeli untuk mendukung estetika dapur, mulai dari toples seragam hingga rak tambahan, memerlukan sumber daya untuk produksi.Â
Ini berarti lebih banyak bahan baku yang diambil, lebih banyak limbah yang dihasilkan, dan lebih banyak emisi karbon dilepaskan.Â
Sama seperti fast fashion, Pretty Pantry Paradigm memunculkan siklus konsumsi berlebihan, yang hanya berakhir pada tumpukan sampah.
Lebih jauh lagi, budaya konsumerisme ini menekan individu untuk terus membeli, meski sebenarnya tidak perlu.Â
Banyak orang merasa perlu mengganti barang yang sudah ada, hanya karena tidak cocok dengan tema dapur mereka.Â
Hal ini tidak hanya membebani lingkungan, tetapi juga menguras kantong.Â