Sebuah tren yang terlihat sederhana, ternyata membawa dampak besar pada ekosistem dan masyarakat.
Dampak di Indonesia: Dari Kota ke Desa
Di Indonesia, budaya Pretty Pantry Paradigm mulai merambah kelas menengah perkotaan.Â
Saya melihat sendiri, bagaimana teman-teman saya di media sosial memamerkan toples baru yang dibeli demi menyesuaikan tone warna dapur.Â
Bagi mereka yang mampu, ini mungkin sekadar pembelian biasa. Namun bagi sebagian orang, tren ini bisa menciptakan tekanan sosial untuk ikut-ikutan.
Kita juga perlu mempertimbangkan konteks sosial di Indonesia.Â
Dapur tradisional Indonesia adalah dapur fungsional. Di daerah pinggiran atau pedesaan, dapur adalah area yang selalu sibuk.Â
Dapur adalah ruang penuh aktivitas. Memasak dengan kayu bakar atau minyak tanah, menyimpan hasil panen dan bahan makanan, sampai membuat bumbu.Â
Ketika estetika mulai menginvasi dapur, apakah kita perlahan kehilangan sentuhan tradisional itu? Apakah semua orang perlu menyesuaikan diri dengan tren global, tanpa mempertimbangkan lokalitas dan nilai budaya?
Menjaga Keseimbangan
Saya bukan orang yang anti-estetika. Saya percaya bahwa ruang yang rapi dan indah bisa meningkatkan produktivitas dan kebahagiaan.Â
Tapi, kita harus bijak dalam mengikuti tren. Pretty Pantry Paradigm tidak harus menjadi alasan untuk membeli barang baru.Â
Sebaliknya, kita bisa memanfaatkan apa yang sudah ada. Toples bekas selai atau kaleng susu, misalnya, bisa diubah menjadi wadah serbaguna. Bukan hanya hemat, tetapi juga ramah lingkungan.