Berita tentang polisi menembak polisi kembali mencuat, kali ini di Polres Solok Selatan, Sumatera Barat. Sebuah institusi yang bertugas menjaga hukum dan ketertiban justru terperosok dalam konflik internal yang berujung maut.
Kasus ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga mencoreng nama baik kepolisian.Â
Ajun Komisaris Rianto Ulil Ansar, Kasatreskrim Polres Solok Selatan, tewas di area parkir kantor polisi setelah ditembak oleh Kabag Ops, Ajun Komisaris Dadang Iskandar.Â
Ironisnya, insiden tragis ini terjadi tak lama setelah tim Satreskrim berhasil menangkap pelaku tambang ilegal.Â
Polisi yang semestinya menjadi penjaga hukum justru menjadi korban dari perselisihan di internal institusinya sendiri.Â
Lebih buruk lagi, ini bukan kali pertama tragedi semacam ini terjadi.
Pola Konflik yang Berulang
Kasus polisi tembak polisi bukanlah fenomena baru.Â
Pada tahun 2022, publik dibuat terkejut dengan kematian Brigadir J yang ditembak oleh rekannya, Bharada E, atas perintah atasannya, Ferdy Sambo.Â
Belum lagi pada 2023, Bripda IDF tewas ditembak rekannya di Rusun Polri Cikeas, Bogor. Dua pelaku kasus ini akhirnya divonis 10 dan 8 tahun penjara pada 2024.
Jika melihat pola ini, tampaknya ada masalah sistemik di tubuh Polri yang belum terselesaikan.Â
Konflik internal yang seharusnya bisa diredam melalui mekanisme profesional sering kali berubah menjadi tragedi.Â
Ini adalah refleksi dari lemahnya pengawasan internal serta kurangnya pelatihan emosional bagi personel.
Cerminan Buruk Ketidakefisienan Prosedur
Hal lain yang mencolok dalam kasus Polres Solok Selatan adalah prosedur penangkapan pelaku.Â
Dadang ditangkap tanpa diborgol, yang menurut pihak kepolisian adalah bagian dari strategi untuk mendapatkan pengakuan.Â
Namun, bagi publik, keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah prosedur keamanan diabaikan begitu saja?
Prosedur seperti pemborgolan bukan hanya tindakan simbolis tetapi juga langkah pencegahan.Â
Mengabaikannya adalah tanda bahwa ada celah serius dalam penerapan standar operasional di Polri.Â
Ketika institusi hukum tidak mampu menjaga disiplin di internalnya sendiri, bagaimana mereka bisa diandalkan untuk melindungi masyarakat?
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Insiden seperti ini memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap Polri.Â
Berdasarkan kritik yang dirilis Tirto.id pada 2024, revisi Undang-Undang Polri justru memperluas kewenangan institusi tanpa memperkuat pengawasan. Alih-alih membenahi sistem, revisi ini berisiko memperbesar penyalahgunaan kekuasaan.
Polri adalah wajah hukum di negeri ini. Ketika publik melihat konflik internal yang berujung pada kekerasan, hal ini menciptakan kesan bahwa Polri gagal menjadi institusi yang profesional dan transparan.Â
Dampaknya bukan hanya pada citra institusi tetapi juga pada legitimasi hukum itu sendiri.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mencegah tragedi serupa, Polri harus melakukan reformasi struktural. Berikut adalah tiga langkah yang saya rasa mendesak untuk diterapkan:
1. Peningkatan Pengawasan Internal Â
Polri perlu membangun sistem pengawasan yang lebih ketat dan transparan. Audit berkala terhadap penggunaan senjata api dan mekanisme penyelesaian konflik internal adalah langkah awal yang penting.
2. Pelatihan Pengelolaan Emosi Â
Konflik internal sering kali dipicu oleh masalah emosional. Mengingat tekanan kerja polisi yang tinggi, pelatihan pengelolaan stres dan emosi harus menjadi bagian integral dari pendidikan dan pelatihan polisi.
3. Revisi Regulasi yang Berorientasi pada Akuntabilitas Â
Revisi UU Polri seharusnya diarahkan untuk meningkatkan akuntabilitas, bukan sekadar memperbesar kewenangan tanpa kontrol. Pendekatan ini akan membantu menciptakan budaya kerja yang lebih profesional dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
Kesimpulan
Insiden ini mengingatkan kita bahwa tanpa reformasi serius, Polri berisiko terus terjebak dalam konflik internal yang merusak.Â
Pengawasan internal yang lemah, pelanggaran prosedur, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah tanda-tanda krisis yang harus segera diatasi.Â
Sebagai masyarakat, kita memang tak bisa langsung mengubah sistem, tetapi tuntutan terhadap transparansi dan akuntabilitas adalah langkah awal.Â
Pada akhirnya, institusi hukum yang profesional adalah fondasi rasa aman kita semua.Â
Namun, pertanyaannya seberapa jauh Polri bersedia berubah, dan apakah kita, sebagai masyarakat, siap untuk terus mendesak mereka melakukannya?
***
Referensi:
- Liputan6.com. (2023, Juli). 5 Fakta Kejadian Polisi Tembak Polisi di Rusun Polri Cikeas, Keduanya Anggota Densus 88.
- Tribunnews.com. (2024, Mei). 2 Terdakwa Polisi Tembak Polisi di Bogor Divonis 10 dan 8 Tahun Penjara, Lebih Rendah dari Tuntutan.
- Tirto.id. (2024, Mei). Revisi UU Polri Berpotensi Tak Berpihak pada Kepentingan Publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI