Saya sering mendengar cerita dari anak-anak muda sekarang, yang katanya, mahasiswa zaman ini lebih suka bermain aman daripada turun ke jalan menyuarakan aspirasinya.Â
Awalnya, saya agak skeptis. Masa iya, mahasiswa yang dulu dikenal sebagai motor perubahan sosial jadi apatis begitu saja?Â
Tapi setelah membaca beberapa data dan referensi, saya jadi paham bahwa situasinya tidak sesederhana itu.
Pergeseran Fokus: Dari Jalanan ke Karier
Menurut penelitian dari Universitas Negeri Jakarta, mahasiswa saat ini menghadapi tekanan luar biasa untuk sukses secara akademik dan profesional.Â
Dulu, kita cuma perlu ijazah untuk dapat pekerjaan.Â
Sekarang? Fresh graduate dituntut punya pengalaman kerja, keahlian tambahan, bahkan portofolio yang mentereng.Â
Menurut wawancara yang dimuat dalam artikel Mojok.co (2024), Wanda, seorang mahasiswa dari Solo, memilih untuk fokus membangun kariernya daripada terlibat dalam demonstrasi. Dalam pernyataannya, Wanda mengungkapkan bahwa dia merasa lebih baik menghabiskan waktunya untuk mengembangkan diri daripada "menjerumuskan diri ke macam-macam masalah".
Tapi ada sisi lain yang bikin saya berpikir. Jika semua mahasiswa seperti Wanda, lalu siapa yang akan memperjuangkan isu-isu besar yang memengaruhi hidup banyak orang?Â
Misalnya, kenaikan biaya pendidikan atau kebijakan lingkungan yang buruk. Wanda mungkin merasa tidak punya waktu untuk itu, tapi bukankah kebijakan-kebijakan itu juga memengaruhi masa depannya?
Aktivisme di Era Digital
Ada juga Ray, mahasiswa lain dari Solo, yang punya pendekatan berbeda. Dia tidak ikut demonstrasi, tapi aktif menyuarakan pendapatnya di media sosial. Menurutnya, kampanye digital lebih efektif karena audiensnya lebih luas. Saya setuju, kampanye online memang punya kekuatan besar.Â
Tapi, saya juga khawatir. Perjuangan di dunia maya sering kali hanya sebatas like dan views. Apa itu cukup untuk mengubah kebijakan atau menyadarkan masyarakat secara nyata?
Dulu, demonstrasi punya dampak besar karena langsung terlihat. Orang-orang yang turun ke jalan menunjukkan tekad dan solidaritas yang nyata.Â
Tapi sekarang, banyak yang merasa demonstrasi hanya membuang waktu dan berisiko tinggi.Â
Berdasarkan data dari Universitas Gadjah Mada, neoliberalisasi pendidikan tinggi juga memengaruhi pola pikir mahasiswa.Â
Mereka jadi lebih fokus pada diri sendiri daripada solidaritas kolektif.Â
Kampanye digital mungkin bisa melengkapi, tapi tidak bisa menggantikan aksi nyata.
Risiko Kehilangan Kesadaran Kolektif
Yang paling saya khawatirkan adalah hilangnya kesadaran kolektif.Â
Kita mungkin sibuk mengejar karier, tapi bagaimana dengan nilai-nilai kebersamaan?Â
Bagaimana jika kita semua terlalu fokus pada kepentingan pribadi dan lupa bahwa ada masalah yang lebih besar yang perlu diselesaikan bersama?
Sebagai contoh, gerakan mahasiswa tahun 1998 berhasil membawa perubahan besar, termasuk reformasi politik.Â
Mereka berani menghadapi risiko demi perubahan yang lebih baik.Â
Sekarang, dengan tekanan kapitalisme yang membuat semua orang merasa harus survive sendirian, keberanian seperti itu mulai memudar.
Menurut data dari Kompas, jumlah mahasiswa yang terlibat dalam proses politik formal memang meningkat.Â
Mereka lebih memilih cara yang aman, seperti berpartisipasi dalam pemilu.Â
Tapi apakah itu cukup? Apakah kita bisa memperjuangkan perubahan besar hanya dengan mencoblos?
Mengintegrasikan Aktivisme dalam Kehidupan Modern
Mungkin, kita perlu mencari jalan tengah. Saya tidak bilang mahasiswa harus selalu turun ke jalan, tapi juga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan aksi nyata.Â
Aktivisme bisa diintegrasikan ke dalam kehidupan modern. Kampanye digital dan aksi fisik bisa saling melengkapi.Â
Mahasiswa seperti Wanda dan Ray tetap bisa berkontribusi, bahkan dengan cara yang berbeda.
Yang jelas, kita tidak boleh kehilangan kesadaran politik dan solidaritas sosial.Â
Pendidikan tinggi harus kembali menjadi tempat untuk membangun pemikiran kritis, bukan sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan.Â
Kalau tidak, generasi mendatang mungkin akan lebih teralienasi dari isu-isu sosial.
Pilihan Ada di Generasi Muda
Akhirnya, saya sadar, ini semua soal pilihan.Â
Kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa yang memilih fokus pada karier, karena mereka hanya mencoba bertahan di sistem yang penuh tekanan.Â
Tapi kita juga tidak boleh melupakan pentingnya aktivisme.Â
Perubahan tidak akan terjadi jika semua orang hanya diam.Â
Jadi, pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa membantu mahasiswa mengintegrasikan kedua hal ini?
Mungkin jawabannya ada pada kita semua.Â
Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung aktivisme tanpa mengorbankan karier atau keamanan finansial.Â
Sebuah tugas yang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.
***
Referensi:
- Kania, R. (2024). Peran Mahasiswa dalam Musim Politik Indonesia 2024. Kompasiana.
- Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Jakarta. (2024). Teori Kritis dan Kapitalisme Pendidikan: Perspektif Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Angkatan 2020.
- Kompas. (2024). Demonstrasi Mahasiswa Indonesia dari Masa ke Masa.
- Universitas Gadjah Mada. (2024). Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi dan Perlawanan Gerakan Mahasiswa.
- Mojok.co. (2024). Ketika Demo Tak Lagi Menarik di Mata Mahasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H