Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PPn Naik Jadi 12%, Kebijaksanaan Petinggi Bangsa Diharapkan

20 November 2024   00:05 Diperbarui: 20 November 2024   03:51 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (KOMPAS/HERYUNANTO)

Pada Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Angka kenaikannya mungkin terlihat kecil, hanya satu persen, tetapi dampaknya berpotensi besar. 

Dari pasar hingga meja makan keluarga, kebijakan ini menjadi perbincangan hangat. Bagi banyak orang, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah, kenaikan ini akan jadi beban tambahan, terlebih di tengah tekanan ekonomi yang sudah ada.

Meski demikian, pemerintah berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung program sosial, dan menjaga stabilitas fiskal. 

Namun, apakah kenaikan ini benar-benar solusi terbaik untuk menyeimbangkan anggaran negara? Ataukah justru menjadi tantangan baru bagi rakyat yang sudah berada di ujung kemampuan ekonomi mereka?

Memahami Dampak Langsung pada Masyarakat

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga menyumbang 55,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal ketiga 2024. Itu artinya, aktivitas belanja masyarakat menjadi motor utama ekonomi kita. 

Ketika PPN naik, dampaknya akan langsung terasa di kantong kita. 

Bayangkan, belanja bulanan yang biasanya Rp 1 juta menjadi Rp 1,012 juta. Perubahannya memang tampak kecil, tetapi jika diakumulasi, angka ini bisa menggerus daya beli.

Inflasi menjadi kekhawatiran utama. 

Data per Oktober 2024 menunjukkan inflasi mencapai 3,2 persen, mendekati batas atas target Bank Indonesia. Kenaikan PPN bisa menjadi pemicu tambahan, memperbesar tekanan bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. 

Kalau daya beli mereka menurun, konsumsi domestik yang menjadi andalan pertumbuhan ekonomi pun akan melemah.

Pada tahun 2019, Jepang punya pengalaman serupa terkait kenaikan pajak konsumsi dari 8 persen menjadi 10 persen. Langkah ini awalnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. 

Namun, hasilnya justru sebaliknya. Ekonomi Jepang mengalami kontraksi sebesar 6,3 persen pada kuartal berikutnya, mencerminkan dampak negatif terhadap aktivitas ekonomi domestik. 

Kasus ini menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan pajak konsumsi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara. 

Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, langkah tersebut berpotensi melemahkan daya beli masyarakat dan merugikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Mengapa Pemerintah Memilih Jalur Ini?

Pemerintah punya alasan kuat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan PPN dibutuhkan untuk memastikan stabilitas fiskal dan mendukung program sosial. 

Dengan kondisi utang pemerintah yang sudah mendekati batas aman, mencari sumber penerimaan baru memang tak terhindarkan. 

Pajak, yang pada dasarnya adalah kontribusi kita sebagai warga negara, seharusnya kembali ke kita dalam bentuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah pengelolaan pajak sudah cukup efisien? 

Dalam beberapa diskusi, ekonom seperti Achmad Nur Hidayat menyebut bahwa ada potensi besar dari sektor pajak yang belum tergarap, seperti sektor informal dan digital. 

Perluasan basis pajak ini bisa menjadi alternatif yang lebih adil daripada membebankan seluruh masyarakat dengan kenaikan PPN.

Apa Solusi untuk Mengurangi Dampak Negatif?

Satu hal yang menjadi pelajaran dari berbagai negara adalah pentingnya transparansi dalam penggunaan pajak. 

Kita perlu tahu, secara rinci dan jelas, bagaimana uang pajak yang kita bayarkan digunakan. Tanpa itu, sulit bagi masyarakat untuk menerima kebijakan seperti kenaikan PPN ini dengan lapang dada.

Efisiensi pengeluaran pemerintah juga menjadi sorotan. 

Penghapusan anggaran untuk proyek-proyek yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat harus diprioritaskan. 

Misalnya, jika ada proyek besar yang sifatnya mercusuar tetapi dampaknya kecil terhadap masyarakat, sebaiknya anggaran tersebut dialihkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi pendidikan atau bantuan sosial.

Selain itu, kebijakan pajak progresif bisa menjadi solusi yang lebih adil. 

Dengan membebankan pajak lebih tinggi kepada kelompok berpenghasilan besar, beban pajak untuk kelas menengah dan bawah bisa lebih ringan. 

Ini adalah langkah yang tidak hanya relevan secara ekonomi tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan sosial.

Pilihan Sulit, Petinggi Negara Harus Bijak

Kenaikan PPN adalah keputusan dilematis yang memengaruhi banyak aspek. 

Di satu sisi, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan untuk membiayai program sosial dan menjaga stabilitas fiskal. 

Di sisi lain, dampak pada daya beli, inflasi, dan kesejahteraan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, tidak dapat diabaikan. 

Kebijakan ini menuntut kebijaksanaan para pengelola negara ini. Selain menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan keberlangsungan ekonomi masyarakat.

Sebagai warga negara, kita berhak menuntut transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan pajak. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan ini tidak menjadi bumerang yang melemahkan konsumsi domestik atau memperburuk ketimpangan ekonomi.

Namun, apakah kebijakan fiskal ini benar-benar akan membawa perubahan positif yang merata? Atau akankah beban ini menjadi ujian baru bagi masyarakat kelas bawah? 

*** 

Referensi

  • Kompas. (2024, August 15). PPN 12 persen: Strategi fiskal atau beban baru bagi masyarakat.
  • Kompas. (2024, November 16). PPN 12 persen mulai 2025: Pengamat, manfaat untuk rakyat harus lebih besar dari bebannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun