Pada tahun 2019, Jepang punya pengalaman serupa terkait kenaikan pajak konsumsi dari 8 persen menjadi 10 persen. Langkah ini awalnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.Â
Namun, hasilnya justru sebaliknya. Ekonomi Jepang mengalami kontraksi sebesar 6,3 persen pada kuartal berikutnya, mencerminkan dampak negatif terhadap aktivitas ekonomi domestik.Â
Kasus ini menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan pajak konsumsi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara.Â
Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan hati-hati, langkah tersebut berpotensi melemahkan daya beli masyarakat dan merugikan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Mengapa Pemerintah Memilih Jalur Ini?
Pemerintah punya alasan kuat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan PPN dibutuhkan untuk memastikan stabilitas fiskal dan mendukung program sosial.Â
Dengan kondisi utang pemerintah yang sudah mendekati batas aman, mencari sumber penerimaan baru memang tak terhindarkan.Â
Pajak, yang pada dasarnya adalah kontribusi kita sebagai warga negara, seharusnya kembali ke kita dalam bentuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah pengelolaan pajak sudah cukup efisien?Â
Dalam beberapa diskusi, ekonom seperti Achmad Nur Hidayat menyebut bahwa ada potensi besar dari sektor pajak yang belum tergarap, seperti sektor informal dan digital.Â
Perluasan basis pajak ini bisa menjadi alternatif yang lebih adil daripada membebankan seluruh masyarakat dengan kenaikan PPN.
Apa Solusi untuk Mengurangi Dampak Negatif?
Satu hal yang menjadi pelajaran dari berbagai negara adalah pentingnya transparansi dalam penggunaan pajak.Â