Muhammadiyah, organisasi masyarakat sipil terbesar di Indonesia, baru saja merayakan milad ke-112. Usia yang panjang ini mencerminkan kokohnya komitmen mereka pada nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi di tengah perubahan zaman. Namun, perayaan ini juga menjadi pengingat akan tantangan besar yang terus mengintai.Â
Bagaimana Muhammadiyah tetap menjaga independensi dan idealismenya dalam menghadapi godaan pragmatisme politik dan ekonomi yang kian menguat?
Mengapa Isu Pragmatisme Penting?
Bukan rahasia lagi bahwa pragmatisme adalah godaan terbesar bagi banyak organisasi masyarakat sipil.Â
Kita sering mendengar cerita tentang organisasi yang tadinya kritis dan vokal, perlahan kehilangan suara setelah terlalu dekat dengan kekuasaan.Â
Menurut  laman The Economist Intelligence Unit (2023), indeks kebebasan sipil di Indonesia mengalami penurunan, dari 6,18 di tahun 2022 menjadi 5,29 di 2023. Ini menunjukkan ruang gerak masyarakat sipil semakin sempit.
Saya tidak bisa tidak memikirkan, bagaimana kondisi ini juga memengaruhi Muhammadiyah.Â
Ketika organisasi sebesar ini mulai berhadapan dengan godaan pragmatisme, baik dalam bentuk dukungan politik maupun kepentingan ekonomi, integritas yang telah dibangun selama lebih dari satu abad bisa saja terancam.Â
Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah mampu mempertahankan prinsip kolektif-kolegial yang menjadi ciri khasnya?
Mengapa Independensi Penting bagi Muhammadiyah?
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sering mengingatkan pentingnya menjaga jarak dengan semua partai politik.Â
Saya pikir, ini langkah cerdas. Sebagai organisasi yang berperan besar di pendidikan, kesehatan, dan bidang sosial lainnya, Muhammadiyah memiliki posisi unik. Ia bisa menjadi penjaga moral bangsa tanpa terjebak dalam permainan politik praktis.
Namun, kenyataan di lapangan kadang lebih rumit. Kita melihat beberapa kader Muhammadiyah masuk ke lingkaran kekuasaan.Â