Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Sejarah Karpet Merah Melintas Zaman

18 November 2024   10:59 Diperbarui: 18 November 2024   11:44 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karpet merah (Gambar diolah dengan Dall-E)

Ketika kita mendengar istilah karpet merah, apa yang terlintas di benak kita? Barangkali selebriti glamor berbusana mahal, atau pemimpin negara yang melangkah penuh wibawa dalam sambutan resmi. Karpet merah telah menjadi simbol universal kemewahan dan penghormatan. Tapi, seperti banyak simbol lain, perjalanan sejarahnya tidak sesederhana itu.

Dari Mitologi Yunani hingga Acara Modern

Sejarah karpet merah berawal jauh sebelum lampu sorot Piala Oscar menyinari selebriti dunia. 

Menurut laman BahanKain.com, akar tradisi ini ditemukan dalam drama Yunani kuno Agamemnon karya Aeschylus (458 SM). Dalam kisah itu, Raja Agamemnon disambut dengan karpet merah sebagai jebakan menuju kematiannya. 

Ironis, karpet merah awalnya bukan lambang kemewahan, melainkan simbol pengkhianatan dan konflik. Namun, melalui perjalanan sejarah, maknanya bergeser menjadi simbol eksklusivitas.

Momentum penting lainnya datang pada tahun 1821, ketika Presiden AS James Monroe disambut dengan karpet merah di Georgetown, Carolina Selatan. 

Penggunaan dalam acara kenegaraan inilah yang membawa simbol ini ke panggung resmi modern. Seiring waktu, karpet merah tak hanya melambangkan penghormatan, tetapi juga kemewahan dan status sosial.

Karpet Merah di Zaman Kontemporer

Saat ini, karpet merah adalah bagian tak terpisahkan dari budaya modern. Menurut Liputan6, Golden Globes 2024 menampilkan selebriti seperti Taylor Swift dan Margot Robbie dalam gaun-gaun spektakuler yang memamerkan status dan selera. 

Karpet merah di Hollywood bukan hanya panggung untuk menghormati individu, tetapi juga alat pemasaran yang sangat efektif. 

Dalam acara seperti Golden Globes, momen karpet merah digunakan untuk menampilkan selebriti dalam balutan busana desainer kelas dunia. 

Penampilan para selebriti ini bukan hanya soal gaya, tetapi juga strategi promosi yang dirancang dengan hati-hati. 

Desainer ternama memanfaatkan perhatian media pada momen ini untuk memperkenalkan koleksi terbaru mereka, yang kemudian menjadi tren global.

Karpet merah juga menciptakan narasi tentang kemewahan dan status sosial. Setiap langkah di atas karpet ini memperkuat citra glamor dan eksklusivitas, yang sering kali menjadi aspirasi masyarakat. 

Hal ini mencerminkan fenomena konsumsi simbolis, di mana barang atau pengalaman menjadi representasi status, bukan sekadar kebutuhan. 

Karpet merah telah berevolusi menjadi kendaraan komodifikasi, yang menghubungkan budaya populer dengan industri pemasaran global.

Dalam konteks politik nasional, RMOL.id mencatat penyambutan Prabowo Subianto dengan karpet merah oleh Partai NasDem pada Maret 2024, sebuah gestur penghormatan yang sarat simbol politik.

Dari acara hiburan hingga ranah politik, karpet merah menjadi panggung simbolik untuk menunjukkan hierarki sosial. 

Mereka yang melangkah di atasnya bukan sekadar tamu, tetapi sosok penting yang dianggap layak mendapatkan penghormatan tersebut.

Simbolisme Warna

Billie Ellish berpose di atas karpet merah pada Golden Globe ke 81 (Amy Sussman/Getty Image/AFP)
Billie Ellish berpose di atas karpet merah pada Golden Globe ke 81 (Amy Sussman/Getty Image/AFP)

Warna merah pada karpet ini tidak dipilih secara kebetulan. Dalam seni Renaisans, merah kerap diasosiasikan dengan kekuasaan dan kemewahan. 

Menurut BahanKain.com, asal-usul warna ini terhubung dengan tradisi ungu kerajaan pada zaman Romawi dan Bizantium. Namun, karena pigmen ungu sulit dan mahal didapatkan, merah akhirnya menjadi warna yang lebih dominan.

Warna merah membawa makna kuat, yakni mencolok, berani, dan menggugah perhatian. 

Dalam budaya Indonesia, merah kerap melambangkan keberanian dan keagungan. Hal ini menjadikan karpet merah sebagai simbol global yang tetap relevan di berbagai budaya.

Mengapa Tradisi Ini Bertahan?

Karpet merah bukan sekadar permadani mahal, pun adalah alat komunikasi simbolik. 

Di zaman modern, tradisi ini bertahan karena daya tarik emosionalnya. 

Kita semua terpesona oleh gagasan penghormatan dan kemewahan. Bahkan, acara kecil pun bisa terasa megah jika ada unsur karpet merah.

Namun, ada sisi lain yang perlu kita perhatikan. Tradisi ini juga memperkuat hierarki sosial. Ketika karpet merah digelar untuk individu tertentu, ada pesan tersirat bahwa mereka lebih penting daripada orang lain. 

Ini relevan dalam konteks politik Indonesia, di mana penghormatan seperti ini dapat memengaruhi persepsi publik terhadap kekuatan dan pengaruh seseorang.

Kesimpulan

Karpet merah adalah cermin budaya yang terus mencerminkan nilai-nilai sosial, dari mitologi Yunani hingga gemerlap Hollywood. Simbol ini tidak kehilangan daya tariknya, berkembang mengikuti dinamika sosial dan ekonomi. 

Di Indonesia, adaptasi lokal seperti kain tenun khas dapat menjadi alternatif cara baru untuk menghormati tamu penting, tanpa kehilangan identitas budaya.

Namun, di balik kemewahan ini, muncul pertanyaan penting. Apakah kita terlalu fokus pada simbol seperti karpet merah, sehingga kita kehilangan makna sejati dari penghormatan itu sendiri? 

Apakah penghormatan hanya dapat diukur dari penampilan luar dan status yang ditunjukkan, ataukah ada cara lain untuk menghargai seseorang tanpa perlu menonjolkan perbedaan kelas dan kemewahan?

***

Referensi:

  • Bahankain.com. (2023, May 29). Fakta di balik gelaran karpet merah yang melegenda.
  • Liputan6.com. (2024). 8 gaya terbaik dari karpet merah Golden Globes 2024: Taylor Swift sampai si Barbie Margot Robbie.
  • RMOL.id. (2024, March 23). Prabowo disambut karpet merah, pengamat: Simbol menarik diberikan NasDem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun