Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kaburnya Hukum dari Penjara Tak Berjaga

15 November 2024   19:00 Diperbarui: 15 November 2024   19:12 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan Anda sedang duduk di rumah, menonton berita malam. Lalu muncul headline, "Tujuh tahanan kabur dari Rutan Salemba."

Lalu detailnya mencuat satu per satu, CCTV rusak, ada blind spot, dan tahanan melarikan diri melalui gorong-gorong. 

Apakah Anda terkejut? Saya tidak. 

Dan saya yakin, sebagian dari Anda pun tidak. Karena cerita seperti ini sudah terlalu sering kita dengar.

Kelemahan Sistem yang Terulang

Masalah ini bukan sekadar soal tahanan kabur, tapi cerminan betapa lemahnya akuntabilitas dalam sistem pemasyarakatan kita.

Menurut KompasTV, para tahanan menggunakan kain sarung untuk turun ke gorong-gorong, melewati jalur yang seharusnya diawasi. 

Tapi yang lebih menarik perhatian saya adalah fakta bahwa banyak kamera pengawas di lokasi itu mati. 

Ini seperti menyaksikan adegan film, hanya saja skenarionya terlalu klise untuk disebut menarik.

Menurut Center for Detention Studies, standar keamanan seperti penempatan tahanan berisiko tinggi ke dalam sel khusus sebenarnya sudah lama diatur. 

Tapi apa gunanya aturan tanpa implementasi? 

Kita tahu, di negeri ini, aturan seringkali hanya jadi tulisan indah di atas kertas.

Dugaan Kolusi: Apakah Ada Orang Dalam?

Jika kita melihat lebih dalam, kasus ini memunculkan aroma yang tidak sedap, yaitu dugaan keterlibatan pihak dalam. 

Sebagaimana diungkapkan Komisi III DPR RI, kaburnya tahanan seperti ini sering kali sulit dijelaskan tanpa memikirkan kemungkinan "bantuan" dari dalam. 

CCTV rusak? Blind spot? Penggabungan tahanan? Semuanya terlalu kebetulan. 

Dan sayangnya, dugaan seperti ini tidak asing lagi di dunia pemasyarakatan Indonesia.

Saya teringat kasus di Polsek Tanah Abang pada Februari 2024, di mana 16 tahanan melarikan diri dengan cara menjebol ventilasi.

Dalam kasus itu, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, mendesak agar pemeriksaan dilakukan terhadap petugas yang berjaga.

Mengapa? Karena sering kali, kelalaian yang disengaja lebih mematikan daripada ketidaktahuan.

Lebih dari Sekadar Tahanan Kabur

Ketika tahanan kabur, yang hilang bukan hanya rasa aman masyarakat, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi hukum.

Masyarakat mulai bertanya-tanya, apakah hukum di negeri ini benar-benar adil?

Ataukah hukum hanya tegas untuk mereka yang tidak tahu cara berkelit?

Ini bukan sekadar cerita tentang tujuh orang yang melarikan diri. Ini adalah gejala dari budaya impunitas---sebuah pola di mana kesalahan dibiarkan, pelaku dilindungi, dan sistem terus berjalan tanpa perbaikan. 

Dan dampaknya? Bukan hanya pada satu atau dua kasus. 

Pola ini merembes ke setiap sudut institusi hukum, menciptakan ruang yang nyaman bagi pelaku kejahatan untuk terus bermain di bawah bayang-bayang hukum yang lemah.

Bukan Reformasi Simbolis, Tapi Tindakan Nyata

Reformasi hukum bukanlah istilah baru di Indonesia. Sejak era reformasi bergulir, kata ini sering kali digemakan. Tapi apa hasilnya? 

Insiden seperti ini menunjukkan bahwa perubahan yang kita dengar sering kali hanya simbolis. Jika ingin ada perubahan nyata, kita butuh langkah konkret.

Pertama, pengawasan independen harus diterapkan, terutama dalam pengelolaan rutan dan lapas. 

Untuk mencegah kaburnya tahanan, Indonesia dapat belajar dari negara lain yang berhasil meningkatkan keamanan pemasyarakatan. 

Di Norwegia, misalnya, lapas dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis AI yang mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan di area tertentu. Kamera tidak hanya merekam, tetapi juga memberikan peringatan real-time kepada petugas ketika ada upaya melarikan diri. Hal ini terbukti mengurangi kasus kabur hingga 70% dalam satu dekade terakhir.

Selain itu, di Korea Selatan, pemerintah mengintegrasikan sistem audit independen yang bekerja langsung di bawah pengawasan lembaga antikorupsi. Setiap pelanggaran kecil, termasuk kelalaian petugas, segera diselidiki dan dipublikasikan secara transparan. Langkah ini menciptakan efek jera sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.

Jika teknologi seperti ini diterapkan di Indonesia, disertai transparansi dan evaluasi ketat, kasus seperti di Rutan Salemba dapat dicegah. 

Ini tidak hanya soal memasang kamera baru, tetapi memastikan bahwa pengawasan benar-benar berjalan. 

Transparansi dalam proses pengawasan juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut memantau, sehingga budaya kolusi bisa diminimalkan.

Kedua, transparansi harus menjadi prioritas. 

Kamera pengawas yang rusak? Itu seharusnya langsung menjadi bendera merah, bukan alasan yang diterima begitu saja.

Dan terakhir, evaluasi besar-besaran perlu dilakukan terhadap prosedur keamanan. 

Tahanan berisiko tinggi tidak boleh diperlakukan sama seperti tahanan biasa. 

Ini bukan soal mendiskriminasi, tetapi soal melindungi masyarakat.

Masih Adakah Harapan?

Pertanyaan terbesar saya adalah, siapa yang akan memulai perubahan ini? 

Karena, jika kita jujur, mereka yang diuntungkan oleh sistem yang lemah ini tidak akan dengan sukarela mengubahnya. 

Dan bagi kita, masyarakat biasa, mungkin ini saatnya untuk berhenti hanya menjadi penonton. Mulailah bertanya, mulailah menuntut transparansi, karena pada akhirnya, keamanan kita adalah tanggung jawab kita semua.

Kaburnya tahanan Salemba adalah cermin besar yang memantulkan wajah sistem hukum kita. 

Pertanyaannya, apakah kita akan terus menutup mata, atau akhirnya mengambil langkah nyata untuk memperbaikinya?

***

Referensi:

  • Kompas TV. (2024, November 12). Kronologi 16 tahanan Polsek Tanah Abang kabur: Jebol ventilasi hingga gunakan sajadah sebagai tali. 
  • Kompas. (2024, February 23). Kasus kaburnya 16 tahanan Polsek Tanah Abang, Kompolnas: Copot jabatan!
  • Center for Detention Studies. (2024). Evaluasi besar: Reformasi sistem keamanan pemasyarakatan di Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun