Dan dampaknya? Bukan hanya pada satu atau dua kasus.Â
Pola ini merembes ke setiap sudut institusi hukum, menciptakan ruang yang nyaman bagi pelaku kejahatan untuk terus bermain di bawah bayang-bayang hukum yang lemah.
Bukan Reformasi Simbolis, Tapi Tindakan Nyata
Reformasi hukum bukanlah istilah baru di Indonesia. Sejak era reformasi bergulir, kata ini sering kali digemakan. Tapi apa hasilnya?Â
Insiden seperti ini menunjukkan bahwa perubahan yang kita dengar sering kali hanya simbolis. Jika ingin ada perubahan nyata, kita butuh langkah konkret.
Pertama, pengawasan independen harus diterapkan, terutama dalam pengelolaan rutan dan lapas.Â
Untuk mencegah kaburnya tahanan, Indonesia dapat belajar dari negara lain yang berhasil meningkatkan keamanan pemasyarakatan.Â
Di Norwegia, misalnya, lapas dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis AI yang mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan di area tertentu. Kamera tidak hanya merekam, tetapi juga memberikan peringatan real-time kepada petugas ketika ada upaya melarikan diri. Hal ini terbukti mengurangi kasus kabur hingga 70% dalam satu dekade terakhir.
Selain itu, di Korea Selatan, pemerintah mengintegrasikan sistem audit independen yang bekerja langsung di bawah pengawasan lembaga antikorupsi. Setiap pelanggaran kecil, termasuk kelalaian petugas, segera diselidiki dan dipublikasikan secara transparan. Langkah ini menciptakan efek jera sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.
Jika teknologi seperti ini diterapkan di Indonesia, disertai transparansi dan evaluasi ketat, kasus seperti di Rutan Salemba dapat dicegah.Â
Ini tidak hanya soal memasang kamera baru, tetapi memastikan bahwa pengawasan benar-benar berjalan.Â
Transparansi dalam proses pengawasan juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut memantau, sehingga budaya kolusi bisa diminimalkan.