Ini memberi mereka keunggulan dalam memahami tren dan alat digital yang mungkin terasa asing atau sulit diadaptasi oleh generasi kita.
Menurut penelitian dari Mentorink (2024), 87% Gen Z menginginkan pekerjaan yang memberi mereka ruang untuk belajar dan berkembang.Â
Hal ini menjadi modal berharga bagi organisasi yang ingin lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terutama dalam bidang pemasaran digital, analisis data, dan manajemen proyek berbasis teknologi.Â
Gen Z memiliki semangat belajar dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa ragu-ragu, kualitas yang terkadang kita butuhkan dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Tantangan Menerima Mentor dari Generasi Lebih Muda
Meskipun konsep reverse mentoring menawarkan berbagai peluang menarik, penerapannya tidak semudah yang dibayangkan. Salah satu tantangan terbesar adalah penerimaan dari pihak senior.Â
Survei yang dilakukan LinkedIn menunjukkan bahwa hampir 49% dari Gen Z merasa sering disalahpahami oleh generasi yang lebih tua. Ada semacam kesenjangan pemahaman yang menjadi hambatan, baik dari segi budaya kerja maupun pendekatan komunikasi.
Bagi kita, membuka diri terhadap bimbingan dari junior bukan perkara mudah.Â
Senioritas sering kali membuat kita merasa lebih tahu, lebih berpengalaman, atau bahkan lebih berhak dalam menentukan arah kerja.Â
Jika tidak hati-hati, gap antar generasi ini justru bisa menjadi bumerang, menciptakan hambatan komunikasi yang lebih besar.Â
Bukannya saling belajar, kita mungkin saja berakhir dengan sikap defensif, merasa posisi kita terancam oleh cara kerja dan pemikiran yang serba cepat dan digital ala Gen Z.
Dampak Jangka Panjang bagi Organisasi
Namun, jika kita mampu mengatasi tantangan-tantangan ini, potensi jangka panjangnya bagi organisasi bisa sangat besar.Â