Ada tren baru yang menarik di kantor-kantor masa kini, terutama bagi kita yang sudah puluhan tahun meniti karir dan merasa menguasai semua seluk-beluk pekerjaan.Â
Yakni reverse mentoring. Ide dasarnya sederhana, geli saat dipahami dan akward ketika diterapkan. Reverse mentoring, yaitu membalik peran mentor tradisional, di mana yang lebih muda, dalam hal ini generasi Z, menjadi mentor bagi seniornya dalam urusan teknologi digital. Di era teknologi ini, konsep tersebut masuk akal.Â
Bagaimanapun, anak-anak muda inilah yang lahir di dunia digital, sementara kita yang tua-tua lebih banyak belajar sambil jalan.
Sebagai seorang pegawai paruh baya, ada beberapa kali saya masuk ke dalam situasi seperti ini. Selama bertahun-tahun, kita merasa senioritas adalah bekal yang tak ternilai dalam bekerja.Â
Namun, kini kita dihadapkan pada tantangan baru. Apakah kita benar-benar siap menerima bimbingan dari junior?Â
Bagaimana perasaan kita saat generasi yang baru saja bergabung di dunia kerja mengajarkan cara memaksimalkan aplikasi atau media sosial yang kita anggap remeh?Â
Ini bukan hanya soal mengikuti perkembangan teknologi, melainkan soal membuka diri pada pola pikir baru yang mungkin belum pernah kita alami sebelumnya.
Mengapa Generasi Z Memiliki Keunggulan Digital?
Pertanyaan besar pertama yang muncul di benak saya adalah, mengapa Gen Z harus menjadi guru kita dalam hal digital?Â
Berdasarkan data dari Fast Company (2024), kehadiran Gen Z di dunia kerja meningkat tajam setidaknya 2% setiap tahunnya sejak 2018, dan tahun ini mereka diprediksi akan melampaui generasi Baby Boomers dalam jumlah pekerjaan penuh waktu.Â
Mereka hadir dengan pola pikir yang lebih akrab dengan teknologi dan tumbuh dalam lingkungan yang digital sejak kecil.Â
Mereka bukan hanya belajar teknologi di sekolah, melainkan juga menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.Â
Ini memberi mereka keunggulan dalam memahami tren dan alat digital yang mungkin terasa asing atau sulit diadaptasi oleh generasi kita.
Menurut penelitian dari Mentorink (2024), 87% Gen Z menginginkan pekerjaan yang memberi mereka ruang untuk belajar dan berkembang.Â
Hal ini menjadi modal berharga bagi organisasi yang ingin lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terutama dalam bidang pemasaran digital, analisis data, dan manajemen proyek berbasis teknologi.Â
Gen Z memiliki semangat belajar dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa ragu-ragu, kualitas yang terkadang kita butuhkan dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Tantangan Menerima Mentor dari Generasi Lebih Muda
Survei yang dilakukan LinkedIn menunjukkan bahwa hampir 49% dari Gen Z merasa sering disalahpahami oleh generasi yang lebih tua. Ada semacam kesenjangan pemahaman yang menjadi hambatan, baik dari segi budaya kerja maupun pendekatan komunikasi.
Bagi kita, membuka diri terhadap bimbingan dari junior bukan perkara mudah.Â
Senioritas sering kali membuat kita merasa lebih tahu, lebih berpengalaman, atau bahkan lebih berhak dalam menentukan arah kerja.Â
Jika tidak hati-hati, gap antar generasi ini justru bisa menjadi bumerang, menciptakan hambatan komunikasi yang lebih besar.Â
Bukannya saling belajar, kita mungkin saja berakhir dengan sikap defensif, merasa posisi kita terancam oleh cara kerja dan pemikiran yang serba cepat dan digital ala Gen Z.
Dampak Jangka Panjang bagi Organisasi
Namun, jika kita mampu mengatasi tantangan-tantangan ini, potensi jangka panjangnya bagi organisasi bisa sangat besar.Â
Dengan membuka diri terhadap reverse mentoring, kita sebenarnya membangun lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adaptif.Â
Generasi Z dapat membantu kita memahami tools dan software digital yang mungkin sebelumnya hanya kita dengar namanya.Â
Sementara kita dapat membimbing mereka dengan wawasan dan pengalaman kerja bertahun-tahun yang tidak mereka miliki.
Di era digitalisasi ini, pendekatan lintas generasi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan organisasi.Â
Selain mengurangi kesenjangan pemahaman antar generasi, reverse mentoring juga bisa menjadi cara untuk mempersiapkan regenerasi yang lebih sehat di tempat kerja.Â
Di sisi lain, kita juga berkontribusi dalam mempersiapkan generasi penerus untuk menghadapi tantangan kerja yang lebih kompleks.
Apakah Kita Siap?
Berbeda dari tren kerja lainnya. Reverse mentoring menuntut kita untuk mengesampingkan ego dan belajar dari junior kita.Â
Kita perlu melihat ini sebagai peluang untuk berkembang dan bukan ancaman bagi eksistensi kita di tempat kerja.
Bagi banyak orang di generasi saya, membuka diri pada pola pikir baru ini mungkin terasa tidak nyaman.Â
Tetapi, jika kita ingat kembali bagaimana kita dulu memulai karir dengan semangat untuk belajar dan berkembang, mungkin kita bisa lebih mudah memahami posisi Gen Z saat ini.Â
Mereka bukan hanya anak-anak muda yang ingin mengajarkan kita cara menggunakan media sosial atau alat kerja digital, melainkan juga mitra yang bisa membantu kita tetap relevan di era teknologi ini.
Reverse mentoring bukan hanya soal belajar teknologi dari generasi yang lebih muda.Â
Ini adalah tentang saling melengkapi, saling memahami, dan membangun kerja sama lintas generasi yang saling menguntungkan.Â
Jika kita mampu melewati tantangan komunikasi dan perbedaan pola pikir, reverse mentoring bisa menjadi jalan bagi kita untuk tetap bertahan dan berkembang di dunia kerja yang terus berubah.
***
Referensi:
- Fast Company. (2024). Gen Z career builder mentoring: How reverse mentoring shapes the modern workplace. Fast Company.
- Mentorink. (2024). Mentoring statistics: Insights into the impact of Gen Z mentoring in the workplace. Mentorink.
- LinkedIn & Welt. de. (2024). Understanding generational perceptions in the workplace: The Gen Z and senior communication gap. Welt.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI