Siapa sih yang tidak tergoda ketika tanggal-tanggal kembar tiba, seperti 11.11 atau 12.12?
Diskon besar-besaran bertebaran di seluruh e-commerce. Ada yang menawarkan potongan harga, cicilan nol persen, sampai layanan paylater.
Kita, sebagai konsumen online, kadang tanpa sadar ikut terbawa arus belanja impulsif ini.
Namun pertanyaannya, apakah kita benar-benar butuh dengan barang yang kita beli pada saat promo besar-besaran?
Saya jadi teringat cerita seorang teman yang sempat terlilit paylater gara-gara diskon-diskon menggiurkan. Awalnya memang terlihat kecil, tapi ketika semua ditotal, tagihan jadi menumpuk.
Fenomena ini bukan hal baru, tetapi makin masif dijumpai. Akibat pemasaran digital yang makin agresif. Belanja online memang mempermudah kita. Tapi perilaku ini juga punya jebakan tersendiri, terutama bagi yang kurang paham soal pengelolaan finansial.
Faktor Pendorong Impulsivitas Belanja
Saya sadar bahwa kita mudah jatuh dalam jebakan belanja impulsif, apalagi di era digital ini.
Penelitian dari Populix pada tahun 2024 menemukan bahwa generasi muda, terutama Gen Z, cenderung melakukan pembelian impulsif yang didorong oleh media sosial dan fenomena FOMO (Fear of Missing Out).
Mereka merasa takut ketinggalan momen ketika melihat teman satu circle atau influencer favorit mereka memborong barang-barang yang diinginkan.
Kemudahan akses ke aplikasi belanja juga menjadi faktor penting.
Coba bayangkan, hanya dengan beberapa kali klik, barang sudah dalam keranjang belanja, dan pembayaran bisa dilakukan dalam hitungan detik.
Apalagi, sekarang ada paylater yang memungkinkan kita untuk berbelanja tanpa langsung mengeluarkan uang.
Di satu sisi, ini memudahkan. Tapi di sisi lain, ini bisa jadi awal dari masalah finansial jika tidak bijak.
Dampak Finansial dan Psikologis
Dampak dari belanja impulsif tidak hanya mengganggu stabilitas keuangan, tapi juga kesehatan mental.
Menurut penelitian PwC Indonesia, banyak konsumen mulai merasa cemas mengenai privasi data saat berbelanja online. Ini menambah beban pikiran mereka.
Belanja impulsif yang tanpa perhitungan seringkali menumpuk jadi utang, dan utang adalah salah satu sumber stres yang berkepanjangan.
Di sinilah pentingnya edukasi finansial bagi masyarakat.
Dengan memahami literasi keuangan, kita bisa lebih bijak dalam menentukan mana yang benar-benar kebutuhan dan mana yang hanya keinginan.
Dengan literasi ini, kita akan tahu batasan dan mampu menghindari kebiasaan berbelanja yang merugikan.
Peran Literasi Keuangan dalam Mengurangi Belanja Impulsif
Edukasi finansial seharusnya tidak hanya berlaku bagi mereka yang bekerja di sektor ekonomi atau finansial.
Setiap orang, dari berbagai latar belakang, butuh pemahaman ini.
Kita sering lupa, bahkan menganggap remeh, pentingnya mengelola keuangan dengan bijak.
Kita merasa aman-aman saja karena mengira “cuma belanja kecil-kecilan”.
Padahal kebiasaan kecil ini jika ditumpuk terus bisa jadi masalah besar.
Pendidikan keuangan ini bukan sekadar soal mencatat pemasukan dan pengeluaran, tetapi juga mengendalikan diri dari godaan belanja impulsif.
Dengan pemahaman yang baik tentang pengelolaan keuangan, kita bisa menghindari jebakan paylater atau diskon yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan.
Misalnya, ketika ada promo, kita perlu tanya diri sendiri.
Apakah barang ini benar-benar kita butuhkan atau hanya karena tertarik pada diskonnya?
Pentingnya Regulasi dalam Pemasaran Digital
Namun, literasi keuangan saja tidak cukup.
Perusahaan e-commerce pun perlu turut bertanggung jawab. Dengan adanya regulasi yang lebih ketat dalam pemasaran digital, kita bisa terhindar dari iklan yang manipulatif.
Saat ini, kita bisa melihat betapa mudahnya sebuah iklan “menyerang” kita di media sosial. Begitu kita tertarik pada satu barang, algoritma langsung menampilkan iklan-iklan serupa hingga akhirnya kita tergoda.
Regulasi pemasaran digital bisa membantu konsumen untuk tidak terlalu tertekan oleh iklan.
Misalnya, dengan aturan yang membatasi frekuensi iklan atau membatasi akses paylater bagi yang belum memiliki riwayat kredit yang baik.
Dengan langkah ini, konsumen jadi lebih terlindungi, terutama mereka yang mudah tergoda atau kurang paham tentang risiko finansial yang bisa timbul dari kebiasaan belanja impulsif.
Menjadi Konsumen yang Bijak
Pada akhirnya, kita sendiri yang memegang kendali atas dompet kita. Tidak ada yang bisa memaksa kita untuk membeli sesuatu, kecuali diri kita sendiri.
Namun, kontrol diri tidak muncul begitu saja. Kontrol diri itu butuh latihan, kesadaran, dan edukasi yang konsisten.
Saya, sebagai bagian dari generasi yang juga terpapar godaan ini, belajar bahwa belanja impulsif bukan solusi dari rasa ingin atau ketidakpuasan hidup.
Justru dengan menahan diri dan bijak dalam belanja, kita bisa menghindari stres dan masalah finansial.
Jadi, setiap kali ada promo besar-besaran tanggal kembar, berhentilah sejenak.
Mari kita ingat, bahwa tidak semua barang yang kita inginkan perlu dibeli.
Pertimbangkan dulu kebutuhan sebenarnya, dampak finansial, dan efek jangka panjangnya.
Dengan begitu, kita bisa jadi konsumen yang tidak hanya pintar, tapi juga bertanggung jawab terhadap masa depan finansial kita.
***
Referensi:
- Populix. (2024). Indonesia Digital Economic and Financial Outlook 2024. Fortune Indonesia.
- PwC Indonesia. (2023). Perilaku dan Ekspektasi Konsumen serta Preferensi Teknologi Terus Berkembang dan Selaras dengan Kenaikan Biaya Hidup dan Iklim Ekonomi Makro Saat Ini: PwC Consumer Insights Survey. PwC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H