Proteksionisme yang ekstrem tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga mengancam konsep globalisasi itu sendiri.Â
Ketika negara-negara besar menutup diri, dunia menjadi lebih terfragmentasi, lebih terisolasi.Â
Efisiensi produksi menurun, biaya logistik meningkat, dan akses teknologi menjadi lebih terbatas.Â
Proses ini dikenal dengan sebutan de-globalisasi, sebuah tren yang menurut banyak pakar dapat menghambat pertumbuhan ekonomi global.
IMF dan Bank Dunia telah memperingatkan bahwa de-globalisasi dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antar negara.Â
Negara-negara berkembang, yang selama ini berusaha untuk mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi global, kini terancam terlempar keluar dari arus utama perdagangan internasional.Â
Sebagai contoh, produsen tekstil Indonesia yang mengandalkan bahan baku dari berbagai belahan dunia akan menemukan bahwa biaya produksi mereka melonjak ketika tarif perdagangan meningkat, sementara akses mereka ke pasar utama menyusut.
Apakah Proteksionisme Jawaban bagi AS, dan Apa Pelajarannya bagi Indonesia?
Pada intinya, kebijakan proteksionisme adalah bentuk jawaban terhadap tantangan dalam negeri yang sedang dihadapi AS, khususnya soal defisit perdagangan dan hilangnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur.Â
Namun, langkah ini seperti pedang bermata dua. Sementara lapangan kerja di sektor tertentu mungkin dapat dipertahankan dalam jangka pendek, biaya ekonomi yang harus dibayar oleh konsumen di AS maupun di negara-negara mitra jelas sangat besar.Â
Harga barang-barang konsumsi yang lebih tinggi dan ketidakpastian pasar menciptakan lingkungan ekonomi yang tidak stabil, baik di dalam maupun di luar AS.
Bagi Indonesia, yang juga tengah mencari cara untuk memperkuat sektor domestiknya, pelajaran penting yang bisa diambil adalah bahwa proteksionisme bukanlah solusi jangka panjang.Â