Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Trump Menang Lagi? Pelajaran untuk Politik Indonesia

6 November 2024   18:05 Diperbarui: 7 November 2024   11:57 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (JIM LO SCALZO/EPA-EFE via KOMPAS) 

Donald Trump kembali menaklukkan kursi presiden Amerika Serikat di 2024. Kita dan dunia sedang melihat kejutan politik yang langka. 

Ia mencatat sejarah, bukan hanya sebagai presiden yang terpilih kembali setelah jeda lebih dari satu periode, dalam seabad terakhir. 

Trump juga muncul sebagai simbol perubahan arus politik yang tak terduga. 

Apa rahasia kemenangan monumental ini? 

Dan bagaimana Amerika, dengan semua paradoksnya, menginspirasi analisis kita tentang strategi politik yang relevan bagi Indonesia? 

Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Loyalitas Pendukung: Faktor Utama Kemenangan Trump

Trump jelas menikmati loyalitas yang tidak main-main dari basis pemilihnya. 

Menurut Pew Research Center, sekitar 94% pemilih yang mendukung Trump pada 2020 kembali memilihnya pada 2024. 

Angka ini luar biasa besar, terutama mengingat berbagai kontroversi yang menyelimuti Trump sejak kekalahan pertamanya pada 2020. 

Kita berbicara tentang seorang tokoh yang berulang kali menghadapi tuduhan kriminal dan bahkan dua kali di-impeach. 

Tapi, loyalitas itu tetap utuh.

Loyalitas ini menjadi cerminan bagaimana kepercayaan politik tidak selalu tergerus oleh skandal. 

Bagi banyak pendukungnya, Trump dianggap sebagai sosok yang disalahpahami dan diperlakukan tidak adil oleh sistem. 

Bahkan dengan segala rintangan, mereka melihatnya sebagai pejuang yang melawan arus. 

Analogi yang serupa bisa kita lihat dalam politik Indonesia, di mana beberapa tokoh politik tetap memiliki basis pendukung yang kuat meskipun dikelilingi kontroversi. Bahkan dipersepsi dijegal oleh rezim yang berkuasa. 

Ini menunjukkan bahwa dalam politik, persepsi publik tentang ketidakadilan bisa memperkuat dukungan bagi seseorang, bahkan ketika bukti objektif mungkin menunjukkan hal yang berbeda.

Peralihan Suara Pria Latino: Pergeseran yang Mengejutkan

Trump berhasil mendapatkan dukungan besar dari pemilih pria Latino (warga Amerika keturunan negara-negara Amerika Latin) yang berpindah suara kepadanya secara signifikan dalam pemilu kali ini, dengan margin sekitar 10 poin. 

Berbanding terbalik dengan keadaan tahun 2020, ketika pria Latino lebih condong pada Demokrat. 

Berdasar artikel The Hill, pria Latino tampaknya terpengaruh oleh narasi konservatif yang dibawa Trump, terutama dalam isu ekonomi dan pandangan sosial. 

Hal ini mengejutkan bagi Demokrat, yang secara tradisional mengandalkan komunitas Latino sebagai basis dukungan mereka.

Fenomena ini menarik karena dalam konteks Indonesia, kita juga sering melihat pergeseran suara di kalangan pemilih berbasis identitas atau kelompok etnik tertentu. 

Ketika seorang kandidat berhasil menyampaikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari kelompok tertentu, maka aliansi politik bisa berubah dengan cepat. 

Apakah ini menunjukkan kecenderungan bahwa pemilih mulai lebih peduli pada isu-isu praktis seperti ekonomi daripada ideologi partai atau identitas? 

Mungkin saja, dan ini adalah poin yang menarik bagi strategi politik di Indonesia.

Isu Aborsi dan Kritik Strategi Demokrat

Strategi Demokrat untuk menarik suara perempuan lewat isu aborsi tampaknya tidak seefektif yang mereka harapkan. 

Berdasarkan data dari exit polls, isu ini tidak menunjukkan lonjakan dukungan yang signifikan. 

Justru, dukungan perempuan kepada Demokrat turun dibandingkan dengan pemilu 2020. 

Mengandalkan satu isu besar tanpa menyeimbangkan pendekatan yang lebih holistik tampaknya menjadi kelemahan kampanye Demokrat.

Di Indonesia, sering kali kita lihat partai-partai yang mengandalkan isu tunggal sebagai strategi utama mereka. 

Sering kali ini kurang efektif, terutama dalam konteks pemilih yang semakin kritis. 

Menggunakan satu isu, betapapun kontroversial atau emosionalnya, tidak bisa selalu diandalkan untuk memenangkan pemilu, terutama jika kandidat atau partai tidak menawarkan solusi konkret bagi masalah-masalah nyata sehari-hari. 

Di sini, Demokrat mungkin telah melewatkan kesempatan untuk menyesuaikan pesan mereka agar lebih sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi yang diinginkan pemilih mereka.

Tantangan Demokrat: Membangun Kembali Strategi

Kini, Demokrat, partai pengusung Kamala Harris, rival Trump, menghadapi tantangan besar. 

Mereka harus mengevaluasi ulang pendekatan mereka, baik dari segi strategi maupun kandidat yang dipilih. 

The Hill menyoroti bahwa banyak pihak dalam Demokrat merasa kampanye mereka kurang relevan untuk menarik pemilih baru atau mempertahankan suara dari golongan kunci seperti pria Latino. 

Ke depan, jika Demokrat ingin memperbaiki posisi mereka dalam pemilu mendatang, mereka perlu melakukan penyesuaian besar.

Bagi Indonesia, hal ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa kekuatan politik tidak hanya datang dari karisma atau popularitas sesaat, tetapi juga dari kemampuannya menanggapi perubahan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh pemilih. 

Dengan semakin kompleksnya tantangan ekonomi global, partai politik di Indonesia mungkin juga perlu memperhatikan relevansi strategi mereka dalam merangkul pemilih, terutama generasi muda yang semakin kritis dan mencari solusi praktis.

Kesimpulan

Kemenangan Trump mengajarkan kita pentingnya kesetiaan pendukung, strategi yang tajam, dan kepekaan terhadap perubahan demografis. 

Sementara Trump kokoh berdiri di atas basis pendukungnya, Demokrat justru tertinggal dengan strategi yang tak lagi relevan. 

Ini bukan sekadar kemenangan di Amerika, ini juga cermin bagi kita. 

Di tengah politik yang terus berubah, mampukah pemimpin kita di masa depan membaca kebutuhan nyata dari masyarakat?

***

Referensi:

  • Stanage, N. (2024, November 6). 5 takeaways as Trump wins White House for a second time. The Hill.
  • Pew Research Center. (2024, October 10). The Harris-Trump matchup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun