Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menghapus Stigma Bunuh Diri Bisa Dimulai dari Mengubah Narasi

29 Oktober 2024   17:06 Diperbarui: 29 Oktober 2024   17:15 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memberikan dukungan (Pexels.com/Liza Summer)

Bunuh diri adalah topik yang sering kali disingkirkan dari perbincangan sehari-hari, meski dampaknya bisa menyentuh siapa saja di sekitar kita. 

Mengapa kita masih enggan membicarakannya secara terbuka? 

Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya, termasuk di Indonesia, yang memiliki tingkat kejadian tinggi, terutama pada kelompok usia muda. 

Ini menunjukkan bahwa masalah ini membutuhkan perhatian serius. 

Memahami isu ini dapat membantu kita mengubah sikap dan memberikan dukungan yang tepat bagi mereka yang membutuhkan, baik secara pribadi maupun dalam komunitas kita.

Stigma Membunuh Harapan

Pandangan negatif terhadap bunuh diri di Indonesia masih sangat kuat. 

Banyak yang menganggap orang dengan depresi dan pikiran bunuh diri sebagai 'kurang iman' atau 'kurang bersyukur'. 

Persepsi ini menghalangi korban untuk mencari bantuan. 

Survei dari Into The Light Indonesia, LSM yang mengadvokasi kesehatan mental, menunjukkan masih banyak yang lebih nyaman mencari dukungan dari keluarga atau teman daripada profesional kesehatan mental, karena takut dihakimi.

Meskipun pemerintah telah berupaya mengembangkan layanan kesehatan jiwa, akses masih sangat terbatas, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan. 

Data dari Indonesian Association For Suicide Prevention (INASP) juga menunjukkan bahwa banyak kasus bunuh diri tidak tercatat karena stigma. 

Media yang kurang berhati-hati sering kali memperburuk situasi dengan pemberitaan sensasional, seperti menggambarkan metode bunuh diri secara eksplisit dan memperparah masalah.

Pemerintah, Media, dan Peran Stigma

Pemerintah dan media memiliki peran penting dalam mengatasi atau memperparah stigma bunuh diri. 

Pemerintah, melalui regulasi seperti Sistem Informasi Kesehatan Jiwa (Simkeswa), berupaya mencatat dan mengelola data percobaan bunuh diri. 

Namun, sistem ini sering dikritik karena menambah beban emosional bagi keluarga yang ditinggalkan, yang merasa 'dicap' dan lebih tertutup, memperkuat stigma serta mengisolasi mereka dari komunitas.

Media juga berperan sebagai pedang bermata dua. 

Di satu sisi, media bisa menyuarakan pencegahan bunuh diri, mengedukasi masyarakat, dan menghapus stigma dengan narasi edukatif, informasi dukungan, serta pesan pemulihan. 

Media perlu mengundang pakar kesehatan mental yang kompeten untuk memberikan wawasan yang relevan. 

Di sisi lain, pemberitaan sensasional dan tidak empatik di media dapat memicu tindakan meniru atau 'copycat suicide'.

Oleh karena itu, Dewan Pers menekankan pentingnya pedoman etis bagi media untuk tidak melaporkan detail bunuh diri secara berlebihan. 

Media harus lebih bijak memilih kata dan tidak menggunakan narasi yang mengglorifikasi bunuh diri.

Bagaimana Cara Mengurangi Stigma?

Jawabannya mungkin sederhana: mengubah narasi. 

Mengurangi stigma dan memulai percakapan terbuka tentang bunuh diri adalah langkah penting. 

Imran Pambudi, Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, menjelaskan perlunya perubahan mendasar dalam cara kita memandang bunuh diri. 

Peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap tahun bisa menjadi momen untuk membuka percakapan dan mengubah pandangan masyarakat. 

Tindakan preventif bukan hanya tanggung jawab tenaga medis, tetapi juga seluruh elemen masyarakat.

Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas sangat efektif dalam mencegah bunuh diri. 

Penelitian dari Widya Cakra Journal of Psychology and Humanities menunjukkan bahwa remaja yang mendapat dukungan emosional dari keluarga dan teman memiliki risiko lebih rendah mengalami ide bunuh diri. 

Menyediakan percakapan yang empatik dan mendengarkan tanpa menghakimi adalah cara sederhana namun kuat untuk mencegah tragedi ini.

Menuju Pendekatan yang Lebih Empatik

Pada akhirnya, kita harus melihat bunuh diri bukan sebagai 'aib', tetapi sebagai masalah kesehatan mental yang bisa dicegah dengan dukungan yang tepat. 

Pemerintah, media, dan masyarakat harus mengambil peran aktif dalam mengurangi stigma ini. 

Media perlu mengedukasi, bukan mengeksploitasi, dan pemerintah harus mempermudah akses layanan kesehatan jiwa. 

Kita, sebagai individu, harus belajar untuk mendengarkan tanpa menghakimi.

Masih ada harapan di balik ketakutan dan stigma ini. 

Apakah kita bisa menjadi bagian dari perubahan ini? 

Apakah kita bisa mulai membuka percakapan dan memberikan dukungan yang dibutuhkan orang-orang di sekitar kita?

***

Referensi:

  • Into The Light Indonesia. (2021). Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia 2021: Hasil Awal.
  • INASP. (2022). Suicide Statistics.
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Cegah Bunuh Diri: Perlu Peran Keluarga dan Media Massa.
  • Universitas Gadjah Mada. (2023). Media Massa Miliki Peran Penting dalam Pencegahan Bunuh Diri.
  • Refo Indonesia. (2024). Pencegahan Bunuh Diri: Satu Pertanyaan Sederhana Bisa Membuat Perubahan.
  • Widya Cakra Journal of Psychology and Humanities. (2020). Dukungan Sosial terhadap Kemunculan Ide Bunuh Diri pada Remaja.
  • Universitas Gadjah Mada. (2024). Kepedulian Masyarakat Bisa Cegah Bunuh Diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun