Di era Reformasi, kebebasan mulai muncul, tetapi unsur politis tetap ada, terutama dalam pengangkatan rektor dan Majelis Wali Amanat (MWA).Â
Misalnya, pada 2019, pemilihan rektor di salah satu universitas besar diprotes karena adanya campur tangan pemerintah, di mana calon rektor yang didukung pemerintah terpilih meskipun tidak mendapat dukungan mayoritas.Â
MWA sering menjadi sarana bagi unsur politik untuk mengontrol kebijakan kampus, karena penunjukannya sering melibatkan politisi. Posisi rektor pun sering digunakan sebagai "kendaraan politik" untuk kepentingan tertentu.
Kontrol Negara yang Membatasi Pilihan Akademisi
Kontrol negara dalam pemilihan rektor berdampak signifikan.Â
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memiliki 35% dari total suara dalam pemilihan rektor, memberikan pengaruh besar pada hasil akhir.Â
Ini membuat pemilihan rektor sering kali mencerminkan kepentingan politis, bukan kehendak sivitas akademika.Â
Akibatnya, universitas cenderung menjadi "alat" daripada institusi yang independen.Â
Pengaruh ini tidak hanya terlihat dalam pemilihan rektor, tetapi juga dalam penentuan kebijakan kampus yang tunduk pada kepentingan tertentu, dan mengekang kebebasan akademik.
Birokrasi sebagai Penghalang Daya Kritis
Selain intervensi politik dalam penunjukan rektor, birokrasi yang ketat juga menjadi penghalang kebebasan akademik.Â
Birokrasi yang kuat telah menjadi alat kontrol terhadap dosen dan mahasiswa, seperti regulasi terkait penulisan jurnal ilmiah yang harus melalui banyak persetujuan, serta aturan yang membatasi dosen dalam diskusi publik yang dinilai kontroversial.Â
Banyak aturan ini membuat akademisi kehilangan ruang untuk berpikir kritis dan mengkritik kebijakan yang salah, sehingga penelitian independen semakin terhambat.Â