Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kebebasan Akademik di Kampus Indonesia Sulit Dicapai?

29 Oktober 2024   15:20 Diperbarui: 29 Oktober 2024   15:37 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebebasan akademik (Kompas.id) 

Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya baru-baru ini mencabut pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) setelah insiden pemasangan karangan bunga satire untuk Presiden dan Wakil Presiden, sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. 

Aksi ini mendapat perhatian luas, mencerminkan kekecewaan mahasiswa terhadap kondisi politik saat ini. 

Dari satu sisi, ini tampak seperti kemenangan kecil bagi mahasiswa. 

Namun, di sisi lain, ini mengungkapkan betapa kuatnya campur tangan politik dan ekonomi di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia. 

Jika kita menelisik lebih dalam, ada masalah besar yang tengah terjadi: kebebasan akademik yang semakin terkikis.

Cengkeraman Politik dalam Pendidikan Tinggi

Politik dan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki sejarah panjang. 

Menurut literatur dari Indonesia Investments, intervensi politik di kampus sudah terjadi sejak masa pra-kemerdekaan hingga sekarang. 

Pada masa kolonial, pemerintah Belanda mengendalikan pendidikan tinggi untuk menjaga stabilitas kolonial dengan membatasi akses kaum pribumi dan mengawasi kurikulum agar tidak memicu gerakan nasionalis, seperti yang terjadi di STOVIA dan Technische Hoogeschool (kini ITB).

Pasca kemerdekaan, terutama pada masa Orde Baru, pemerintah memiliki kendali penuh atas kurikulum dan kebijakan universitas. 

Kurikulum diatur sesuai ideologi Pancasila dan materi ajar dibatasi agar tidak mengandung kritik terhadap pemerintah. 

Bahkan, Departemen Pendidikan menentukan topik penelitian dan menyelaraskan visi kampus dengan kepentingan negara.

Di era Reformasi, kebebasan mulai muncul, tetapi unsur politis tetap ada, terutama dalam pengangkatan rektor dan Majelis Wali Amanat (MWA). 

Misalnya, pada 2019, pemilihan rektor di salah satu universitas besar diprotes karena adanya campur tangan pemerintah, di mana calon rektor yang didukung pemerintah terpilih meskipun tidak mendapat dukungan mayoritas. 

MWA sering menjadi sarana bagi unsur politik untuk mengontrol kebijakan kampus, karena penunjukannya sering melibatkan politisi. Posisi rektor pun sering digunakan sebagai "kendaraan politik" untuk kepentingan tertentu.

Kontrol Negara yang Membatasi Pilihan Akademisi

Kontrol negara dalam pemilihan rektor berdampak signifikan. 

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memiliki 35% dari total suara dalam pemilihan rektor, memberikan pengaruh besar pada hasil akhir. 

Ini membuat pemilihan rektor sering kali mencerminkan kepentingan politis, bukan kehendak sivitas akademika. 

Akibatnya, universitas cenderung menjadi "alat" daripada institusi yang independen. 

Pengaruh ini tidak hanya terlihat dalam pemilihan rektor, tetapi juga dalam penentuan kebijakan kampus yang tunduk pada kepentingan tertentu, dan mengekang kebebasan akademik.

Birokrasi sebagai Penghalang Daya Kritis

Selain intervensi politik dalam penunjukan rektor, birokrasi yang ketat juga menjadi penghalang kebebasan akademik. 

Birokrasi yang kuat telah menjadi alat kontrol terhadap dosen dan mahasiswa, seperti regulasi terkait penulisan jurnal ilmiah yang harus melalui banyak persetujuan, serta aturan yang membatasi dosen dalam diskusi publik yang dinilai kontroversial. 

Banyak aturan ini membuat akademisi kehilangan ruang untuk berpikir kritis dan mengkritik kebijakan yang salah, sehingga penelitian independen semakin terhambat. 

Akibatnya, dosen lebih memilih 'main aman', menghindari topik sensitif, dan menyesuaikan diri dengan birokrasi, yang membuat iklim akademik menjadi stagnan dan tidak subur bagi kebebasan berpikir.

Pandangan Kritis atas Kebijakan Pendidikan Tinggi

Menurut Indonesia Investments, kebijakan negara terhadap pendidikan tinggi lebih bertujuan mempertahankan kendali daripada mempromosikan kebebasan akademik. 

Misalnya, hak suara Kemenristekdikti sebesar 35% dalam pemilihan rektor menunjukkan upaya kontrol terhadap pemimpin universitas, mengurangi independensi sivitas akademika. 

Banyak pihak melihat ini sebagai cara untuk mengontrol pemikiran dan penelitian di kampus. 

Ketika kampus tidak lagi bebas untuk berdiskusi dan meneliti, kebebasan akademik terancam.

Pola ini terlihat hampir di seluruh Indonesia. 

Keterlibatan politik melalui MWA dan birokrasi memperlihatkan bahwa kebebasan akademik dianggap "berbahaya" bagi pemerintah, yang mungkin takut kebebasan ini akan menantang status quo.

Reformasi Struktural dan Harapan yang Masih Ada

Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki situasi ini? 

Menurut literatur dari An-Nur.ac.id, beberapa reformasi diusulkan, seperti memperkuat otonomi universitas, mengurangi pengaruh politik dalam pemilihan rektor, dan merombak struktur birokrasi. 

Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan institusi pendidikan tinggi tetap independen dan sesuai dengan tujuannya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa campur tangan politik. 

Namun, kita harus realistis. 

Reformasi ini tidak mudah dilakukan dan memerlukan dukungan politik serta niat baik dari semua pihak untuk bisa benar-benar menciptakan perubahan.

Masa Depan Pendidikan Tinggi

Intervensi politik dan ekonomi dalam pendidikan tinggi tidak akan hilang begitu saja tanpa keinginan kuat dari masyarakat akademik. 

Kampus seharusnya menjadi tempat di mana segala macam ide yang bertanggung jawab bisa tumbuh subur, tempat pembibitan pikiran anak bangsa yang merdeka dan bebas. 

Dosen dan mahasiswa harus merasa aman untuk berpikir dan berpendapat tanpa takut dikekang oleh birokrasi dan kepentingan politik. 

Saat ini, kita mungkin masih jauh dari harapan tersebut, tetapi dengan adanya pemerintahan yang baru, semoga ada perubahan yang lebih baik di masa depan. 

Harapan akan selalu ada, selama perjuangan tetap dijaga.

***

Referensi:

  • Indonesia Investments. (2024). Reformasi - Analisis Politik Indonesia Pasca Suharto - Demokrasi.
  • An-Nur.ac.id. (n.d.). Perjalanan Politik Indonesia Pasca Kemerdekaan: Dari Orde Lama Hingga Reformasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun