Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Revitalisasi Industri Indonesia dari SBY hingga Prabowo

21 Oktober 2024   15:09 Diperbarui: 21 Oktober 2024   15:26 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gedung pabrik sebagai elemen industrialisasi (Diolah dengan Dall-E) 

Sejak dua dekade terakhir, tiga presiden Indonesia—Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), dan Prabowo Subianto—selalu menggaungkan janji untuk menghidupkan kembali sektor industri, khususnya manufaktur. Sektor ini digadang-gadang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Namun, menurut laporan dari Neraca.co.id dan Tempo.co, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami penurunan signifikan, dari 28% pada 2004 menjadi hanya 18,52% pada triwulan II-2024. 

Apakah janji ini hanya menjadi retorika politik, atau memang sulit direalisasikan di Indonesia?

Kenapa Revitalisasi Industri Penting?

Bagi yang belum paham, revitalisasi industri adalah upaya untuk mengembangkan sektor manufaktur agar lebih produktif, efisien, dan berdaya saing. 

Mengapa ini penting? Karena ketika sektor ini tumbuh, banyak lapangan kerja yang tercipta, barang yang dihasilkan memiliki nilai tambah, dan ekonomi pun bergerak lebih cepat. 

Mengutip dari Neraca.co.id, ekonom Hendri Saparini menegaskan bahwa industrialisasi merupakan kunci untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. 

Namun, berdasarkan artikel dari Tempo.co, Indonesia justru mengalami deindustrialisasi dini, yaitu kondisi ketika sektor manufaktur melemah sebelum mencapai puncaknya.

Janji dan Kebijakan: Dari SBY ke Jokowi hingga Prabowo

Menurut salah satu jurnal terbitan Universitas Padjadjaran, pada awal masa jabatannya, SBY menekankan pentingnya pengembangan industri pedesaan, dengan fokus kebijakan pada pengembangan industri di luar kota besar untuk mencapai pemerataan ekonomi hingga ke pedesaan. 

Namun, hasilnya belum terlihat signifikan, terutama dalam hal kontribusi terhadap PDB.

Jokowi, di sisi lain, mencoba pendekatan berbeda dengan memperkuat hilirisasi industri. 

Hilirisasi ini bertujuan untuk mengolah bahan mentah di dalam negeri, sehingga memberikan nilai tambah sebelum diekspor. 

Contoh nyatanya adalah hilirisasi nikel yang mulai dilakukan secara masif. 

Menurut artikel dari Universitas Padjadjaran dan Indonesia.go.id, meskipun beberapa sektor seperti makanan dan minuman serta logam dasar mencatatkan pertumbuhan, kontribusi keseluruhan sektor manufaktur terhadap PDB tetap mengalami penurunan.

Berdasar dari Neraca.co.id, Prabowo kini memimpin dengan target besar, yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi 8% melalui program hilirisasi yang lebih intensif serta penguatan industri dasar, seperti baja dan kimia. 

Prabowo percaya bahwa upaya ini akan membawa Indonesia lebih dekat pada status negara maju pada 2045. 

Namun, apakah rencana ini bisa terlaksana dengan baik? 

Atau hanya akan menjadi janji yang sama seperti sebelumnya?

Faktor Penyebab Deindustrialisasi Dini

Mengapa kontribusi sektor manufaktur justru menurun? 

Salah satu faktor utamanya adalah rendahnya investasi di sektor ini. 

Banyak investor lebih memilih sektor lain, seperti properti atau jasa, karena dianggap lebih menguntungkan dan risikonya lebih rendah. 

Faktor lain adalah tingginya biaya logistik di Indonesia. 

Hal ini membuat produk manufaktur Indonesia kurang kompetitif di pasar internasional. 

Ditambah lagi, adopsi teknologi modern di sektor ini masih tertinggal, sehingga produktivitas tidak bisa optimal.

Bayangkan industri yang masih menggunakan peralatan tua atau mesin yang tidak efisien. 

Hasil produksinya pasti kalah cepat dan kualitasnya kalah bersaing. 

Ini yang membuat sektor manufaktur tidak bisa berkembang sesuai harapan.

Dampak Deindustrialisasi: Apa yang Terjadi pada Tenaga Kerja?

Ketika sektor manufaktur melemah, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor formal. 

Akibatnya, banyak yang beralih ke sektor informal yang cenderung tidak memberikan perlindungan yang memadai. 

Menurut data, hal ini membuat tingkat pengangguran sulit untuk turun secara signifikan, bahkan ketika ekonomi tumbuh. 

Pekerjaan di sektor informal mungkin lebih mudah didapat, tapi sering kali tidak stabil dan pendapatannya tidak tetap. 

Dampaknya, kesejahteraan pekerja pun tidak meningkat secara signifikan.

Apakah Prabowo Bisa Membawa Perubahan?

Program Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% terlihat ambisius. 

Ia berencana meningkatkan hilirisasi dan memperkuat industri dasar. 

Namun, untuk benar-benar mewujudkan hal ini, diperlukan kebijakan yang konsisten dan dukungan investasi besar. 

Misalnya, untuk sektor baja dan kimia, perlu ada insentif bagi investor dan kebijakan yang mempermudah akses terhadap teknologi modern. 

Tanpa perubahan nyata, janji revitalisasi industri ini akan kembali menjadi sekadar wacana.

Langkah yang harus ditempuh juga mencakup peningkatan keterampilan tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan industri modern. 

Kolaborasi dengan institusi pendidikan dan pelatihan harus diperkuat, sehingga para pekerja memiliki keterampilan yang relevan dengan teknologi yang digunakan di industri. 

Hanya dengan cara ini, sektor manufaktur bisa tumbuh secara berkelanjutan dan memberikan manfaat nyata bagi ekonomi.

Harapan yang Masih Menggantung

Menghidupkan sektor manufaktur butuh kebijakan yang tepat, konsistensi, dan dukungan luas. 

Prabowo punya target ambisius 8% pertumbuhan ekonomi, tapi akankah janji ini lebih dari sekadar retorika? 

Deindustrialisasi tetap menjadi ancaman, sementara lapangan kerja semakin terbatas. 

Apakah langkah-langkah ini akan cukup untuk mencapai status negara maju pada 2045?

Referensi:

  • Neraca.co.id. (2024). Kontribusi sektor manufaktur Indonesia di atas rata-rata dunia.
  • Tempo.co. (2024). Bidik sektor manufaktur sumbang PDB 2025 20 persen, Menperin: Ekspor produk 78 persen.
  • Universitas Padjadjaran. (2021). Menperin sebut industri manufaktur jadi kontributor PDB terbesar di Indonesia.
  • Indonesia.go.id. (2023). Industri manufaktur masih jadi motor utama perekonomian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun