Jika kita bisa memproduksi sendiri, ketergantungan pada negara lain akan berkurang.Â
PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad adalah perusahaan lokal yang diharapkan menjadi tulang punggung dari kemandirian ini.
Namun, masih banyak tantangan. Salah satunya adalah kurangnya anggaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D).Â
Dominasi perusahaan BUMN yang kurang efisien dan minimnya kerja sama dengan pihak swasta juga menjadi kendala.Â
Proyek modernisasi peralatan militer sering mengalami keterlambatan karena birokrasi dan kurangnya fleksibilitas BUMN dalam bekerja sama dengan perusahaan swasta yang memiliki teknologi lebih maju.Â
PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia sudah memproduksi beberapa alutsista penting, tetapi keterbatasan inovasi membuat produk mereka kalah dibandingkan produk negara lain.
Anggaran Pertahanan dan Kritik yang Muncul
Anggaran pertahanan Indonesia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak tahun 2019. Namun, peningkatan ini juga menimbulkan kritik, terutama di masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi.Â
Banyak yang merasa anggaran besar untuk pertahanan mengorbankan sektor penting lain, seperti kesehatan dan pendidikan. Ini bukan sekadar masalah angka di APBN, tapi juga soal prioritas pembangunan.
Pemerintah berargumen bahwa peningkatan anggaran ini diperlukan untuk memperbarui peralatan militer yang sudah tua dan meningkatkan kesiapan TNI.Â
Namun, pertanyaannya tetap: seberapa besar kebutuhan ini benar-benar mendesak, dan apakah tidak ada cara lain yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan pertahanan tanpa membebani ekonomi negara?
Indonesia berada di dalam dilema klasik: memilih antara "guns versus butter"—antara kebutuhan militer dan kebutuhan kesejahteraan publik.Â