pertahanan', kita mungkin langsung membayangkan pesawat tempur atau parade tentara. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama sepuluh tahun terakhir, pertahanan Indonesia memang mengalami banyak perubahan. Tapi, di balik langkah modernisasi ini, ada pertanyaan yang perlu kita jawab: Apakah langkah ini adalah investasi cerdas, atau malah jadi beban yang tak terlihat?
Ketika mendengar kata 'Modernisasi Pertahanan: Apa yang Dilakukan Jokowi?
Salah satu hal yang mencolok dari kepemimpinan Jokowi adalah komitmennya terhadap modernisasi pertahanan, terutama dengan program Minimum Essential Force (MEF).Â
Tujuan dari MEF ini adalah memastikan Indonesia punya kekuatan militer yang cukup untuk menjaga keamanan.Â
MEF adalah program yang bertujuan untuk memastikan Indonesia punya kekuatan pertahanan yang cukup untuk menghadapi ancaman.Â
Program ini dilakukan dengan cara memperbarui peralatan militer dan meningkatkan kemampuan tentara agar lebih siap menghadapi bahaya.Â
Modernisasi ini termasuk pembaruan peralatan, seperti pesawat tempur Rafale dari Prancis dan pesawat angkut C-130J Super Hercules dari Amerika Serikat.Â
Jokowi ingin TNI tidak hanya siap menghadapi ancaman, tapi juga mampu menunjukkan kekuatan militer di kawasan Asia Tenggara.
Namun, modernisasi militer ini tidak lepas dari kritik.Â
Banyak yang menilai bahwa modernisasi ini dilakukan pada waktu yang kurang tepat, terutama karena dampak ekonomi pandemi COVID-19 yang masih terasa, dengan peningkatan angka pengangguran dan penurunan pertumbuhan ekonomi.Â
Mengingat masyarakat masih berjuang secara ekonomi, ada argumen bahwa anggaran seharusnya lebih diarahkan ke sektor-sektor seperti kesehatan dan pendidikan.
Kemandirian Industri Pertahanan: Tantangan Besar
Jokowi ingin Indonesia mandiri dalam industri pertahanan, dengan mengutamakan produk dalam negeri.Â
Jika kita bisa memproduksi sendiri, ketergantungan pada negara lain akan berkurang.Â
PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad adalah perusahaan lokal yang diharapkan menjadi tulang punggung dari kemandirian ini.
Namun, masih banyak tantangan. Salah satunya adalah kurangnya anggaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D).Â
Dominasi perusahaan BUMN yang kurang efisien dan minimnya kerja sama dengan pihak swasta juga menjadi kendala.Â
Proyek modernisasi peralatan militer sering mengalami keterlambatan karena birokrasi dan kurangnya fleksibilitas BUMN dalam bekerja sama dengan perusahaan swasta yang memiliki teknologi lebih maju.Â
PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia sudah memproduksi beberapa alutsista penting, tetapi keterbatasan inovasi membuat produk mereka kalah dibandingkan produk negara lain.
Anggaran Pertahanan dan Kritik yang Muncul
Anggaran pertahanan Indonesia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak tahun 2019. Namun, peningkatan ini juga menimbulkan kritik, terutama di masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi.Â
Banyak yang merasa anggaran besar untuk pertahanan mengorbankan sektor penting lain, seperti kesehatan dan pendidikan. Ini bukan sekadar masalah angka di APBN, tapi juga soal prioritas pembangunan.
Pemerintah berargumen bahwa peningkatan anggaran ini diperlukan untuk memperbarui peralatan militer yang sudah tua dan meningkatkan kesiapan TNI.Â
Namun, pertanyaannya tetap: seberapa besar kebutuhan ini benar-benar mendesak, dan apakah tidak ada cara lain yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan pertahanan tanpa membebani ekonomi negara?
Indonesia berada di dalam dilema klasik: memilih antara "guns versus butter"—antara kebutuhan militer dan kebutuhan kesejahteraan publik.Â
'Guns versus butter' adalah konsep ekonomi yang menggambarkan pilihan sulit antara membiayai anggaran militer atau kebutuhan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan.Â
Keduanya penting, tapi di tengah keterbatasan anggaran, kita perlu memilih dengan bijak.
Prabowo dan Masa Depan Pertahanan
Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan, punya peran besar dalam melanjutkan kebijakan pertahanan Jokowi.Â
Menurut Jokowi, Prabowo berhasil meningkatkan kekuatan pertahanan, termasuk lewat kerja sama dengan negara lain.Â
Diplomasi ini penting karena ancaman saat ini bukan hanya soal militer, tetapi juga ekonomi dan teknologi.
Ke depan, Prabowo menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan modernisasi pertahanan tanpa memperberat beban ekonomi negara.Â
Anggaran terbatas, kebutuhan sektor lain yang mendesak, dan menjaga defisit APBN tetap terkendali adalah beberapa masalah yang harus dia hadapi.
Bagaimana Melangkah ke Depan?
Pertahanan adalah investasi jangka panjang, tapi seperti investasi lainnya, harus dikelola dengan bijak.Â
Langkah Jokowi untuk membangun fondasi pertahanan yang kuat memang perlu diapresiasi, namun kita tidak bisa menutup mata pada tantangan yang ada, baik dari sisi anggaran maupun kemandirian industri.
Indonesia punya visi besar untuk menjadi negara maju di tahun 2045.Â
Untuk mencapai visi itu, setiap langkah, termasuk di sektor pertahanan, harus benar-benar membawa manfaat bagi rakyat.Â
Mungkin saatnya kita bertanya, apakah investasi ini sudah benar-benar sesuai dengan kebutuhan kita saat ini, atau perlu ada penyesuaian agar lebih fokus pada kebutuhan masyarakat sekarang?
Referensi:
- Budiman, D. et al. (2021). Dukungan Anggaran Pembangunan Sektor Pertahanan. DPR RI.
- Selfie, M. J. (2021, Mei 31). Indef Kritik Kemhan soal Anggaran Alutsista Rp1,7 Kuadriliun.
- Lemhannas RI. (2022, September 20). Kelemahan Industri Pertahanan Indonesia: Stagnasi Alokasi Anggaran, Ekosistem Industri, Penelitian dan Pengembangan, serta Skala Ekonomi.
- Tirto.id. (2024, Oktober 5). Jokowi ke Prabowo: Terima Kasih Telah Meningkatkan Pertahanan RI.
- RMOL.id. (2024, Oktober 3). Jokowi Presiden Sipil Pertama yang Akselerasi Modernisasi Militer RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H