Rekan kerja mungkin merasa terancam posisinya, lalu melampiaskannya dengan menyerang kolega lain secara verbal atau psikologis. Selain itu, konflik personal yang tidak terselesaikan juga dapat berkembang menjadi perundungan.Â
Dalam beberapa kasus, budaya kerja yang kurang mendukung kesehatan mental, seperti norma kerja yang mengabaikan kesejahteraan karyawan, memperburuk situasi.
Lingkungan kerja yang tidak memiliki regulasi tegas terhadap perilaku tidak pantas akan membuka peluang bagi pelaku untuk bertindak tanpa takut pada konsekuensi.Â
Semua faktor ini saling terkait, menciptakan kondisi yang ideal bagi perundungan untuk terus berlanjut.
Mengapa Korban Diam?
Salah satu alasan perundungan terus terjadi adalah karena korban memilih untuk diam.Â
Berdasarkan survei ILO, 45,61% korban tidak melaporkan kejadian tersebut karena merasa bahwa manajemen atau atasan tidak akan melakukan tindakan apa pun.Â
Selain itu, 37,52% korban takut bahwa melaporkan perundungan dapat merusak karier mereka. Situasi ini menciptakan lingkaran setan, di mana korban terus menderita dan pelaku merasa aman untuk terus melakukan perundungan tanpa konsekuensi.
Banyak yang merasa bahwa perundungan adalah bagian dari "kerasnya dunia kerja". Padahal, anggapan ini justru memperburuk situasi.Â
Kita harus membuka mata bahwa perundungan adalah masalah serius yang harus dihentikan. Tanda-tanda perundungan sering kali terlihat dari perubahan perilaku korban.Â
Mereka mungkin mulai menarik diri dari interaksi sosial, tampak cemas atau tertekan, serta menunjukkan penurunan performa kerja.Â
Sering merasa takut atau tidak nyaman di kantor adalah indikasi kuat. Selain itu, perubahan dalam cara komunikasi, seperti menjadi lebih pendiam atau menghindari percakapan dengan rekan kerja atau atasan, juga bisa menjadi tanda perundungan.Â