Bayangkan seorang siswa berdiri di depan kamera ponsel, gugup dan sedikit kikuk, saat diminta menjawab pertanyaan sederhana:
“Apa kepanjangan dari MPR?”
Jawaban yang muncul bukanlah yang diharapkan.
Adegan yang viral di TikTok ini, menjadi potret yang menyedihkan tentang lemahnya pemahaman siswa terhadap pengetahuan umum dasar.
Ini bukan sekadar masalah teknis dalam pembelajaran.
Lebih dalam, hal ini menggambarkan ada sesuatu yang tidak berjalan baik dalam sistem pendidikan kita.
Kualitas Guru yang Tidak Merata
Salah satu faktor yang sering disebut-sebut dalam diskusi tentang efektivitas kurikulum adalah kualitas guru.
Menurut artikel dari Kompas dan SMERU Research Institute, disparitas kualitas guru antar daerah di Indonesia sangat signifikan.
Di satu sisi, ada guru-guru di daerah perkotaan yang mungkin lebih terlatih dan memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya.
Namun, di sisi lain, guru di daerah terpencil sering kali berjuang dengan keterbatasan sumber daya dan pelatihan yang minim.
Bahkan, sebagian kecil guru di sekolah dasar merasa kurang menguasai materi penting seperti literasi dan matematika.
Ini menciptakan kesenjangan besar dalam kualitas pendidikan yang diterima siswa.
Posisi menentukan kualitas.
Ketika kualitas guru tidak merata, bagaimana mungkin kurikulum yang sama bisa diterapkan secara efektif di seluruh negeri?
Infrastruktur Sekolah yang Timpang
Infrastruktur sekolah di Indonesia juga menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi kurikulum.
Data dari Badan Pusat Statistik dan GoodStats menunjukkan bahwa, sekolah di perkotaan umumnya memiliki fasilitas yang memadai—ruang kelas yang layak, sanitasi yang memadai, hingga akses teknologi seperti komputer dan internet.
Sebaliknya, sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas dasar.
Hal ini bukan hanya sekadar masalah estetika atau kenyamanan.
Infrastruktur yang buruk, secara langsung akan memengaruhi kualitas pembelajaran.
Jika ruang kelas rusak, atau tidak ada akses ke internet, bagaimana siswa bisa mengakses sumber daya pendidikan modern yang mendukung penerapan kurikulum baru seperti Kurikulum Merdeka?
Dalam kondisi ini, penerapan kurikulum yang sama di seluruh Indonesia terasa seperti harapan yang tidak realistis.
Kurikulum Baru, Pemikiran Lama
Ada masalah yang mungkin kurang disadari oleh banyak orang: mindset masyarakat tentang pendidikan.
Meskipun kurikulum telah berubah, masyarakat masih terpaku pada nilai akademis sebagai ukuran kesuksesan utama.
Banyak yang melihat perubahan kurikulum seperti Kurikulum Merdeka hanya sebagai formalitas tanpa memahami esensinya.
Pergantian kurikulum hanya jadi sebatas pergantian judul sampul dan ketebalan laporan administrasi.
Akibatnya, perubahan ini menjadi sulit diterima dan diimplementasikan secara efektif.
Ketika masyarakat lebih peduli dengan nilai ujian ketimbang penguasaan kompetensi, perubahan kurikulum yang menekankan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis justru sering dianggap sebagai gangguan.
Ini menciptakan dilema bagi guru yang ingin berinovasi, namun terkekang oleh ekspektasi masyarakat dan sistem evaluasi yang masih berfokus pada ujian.
Minim Keterlibatan Orang Tua
Orang tua memainkan peran penting dalam pendidikan anak-anak mereka.
Namun faktanya, keterlibatan mereka dalam mendukung implementasi kurikulum masih minim.
GoodStats dan SMERU Research Institute mencatat bahwa, orang tua di daerah perkotaan cenderung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka, karena memiliki akses lebih baik terhadap informasi dan waktu.
Namun, di daerah terpencil, keterlibatan orang tua sering kali dibatasi oleh faktor ekonomi dan kurangnya akses informasi.
Padahal, keterlibatan orang tua sangat penting dalam mendukung implementasi kurikulum.
Ketika orang tua tidak memahami atau tidak mendukung perubahan kurikulum, maka anak-anak juga tidak akan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil dalam proses belajar mereka.
Sistem Evaluasi yang Masih Berfokus pada Ujian
Sistem evaluasi pendidikan di Indonesia masih berfokus pada nilai ujian sebagai tolok ukur utama keberhasilan siswa.
Menurut Badan Pusat Statistik, Asesmen Nasional (AN) berusaha untuk mengukur kualitas sekolah dan guru melalui hasil siswa.
Namun, evaluasi berbasis nilai sering kali tidak cukup untuk mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya.
Kita perlu bertanya, apakah sistem evaluasi ini benar-benar membantu siswa belajar dengan lebih baik, atau justru menekan mereka untuk berfokus hanya pada nilai?
Ketika guru harus menghabiskan sebagian besar waktu untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian, sulit bagi mereka untuk berinovasi dalam mengajar dan fokus pada pengembangan kompetensi yang lebih mendalam.
Perlukah Perombakan Total?
Melihat semua tantangan yang ada —mulai dari disparitas kualitas guru, infrastruktur yang tidak merata, hingga sistem evaluasi yang terlalu berfokus pada ujian— kita harus bertanya: apakah reformasi pendidikan kita sudah berjalan dengan tepat?
Mungkin, solusi yang kita butuhkan bukan sekadar perombakan kurikulum, tetapi perubahan menyeluruh dalam cara kita memandang pendidikan.
Apakah kita siap untuk memulai proses ini, atau mungkin ada pendekatan lain yang bisa kita ambil?
Pilihannya kini ada di tangan masyarakat, pendidik, dan pemerintah.
Lalu, pilihan mana yang akan kita pilih?
Referensi:
- Kompas.com. (2019, December 3). Skor PISA Melorot, Disparitas dan Mutu Guru Penyebab Utama.
- SMERU Research Institute. (2023). Skor siswa Indonesia dalam penilaian global PISA melorot, kualitas guru dan disparitas mutu penyebab utama.
- Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Pendidikan 2023.
- GoodStats. (2022). Mengulik Statistik Guru dan Tenaga Kependidikan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H