Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Gus Dur di Hati Generasi Muda, antara Pluralisme dan Demokrasi

1 Oktober 2024   17:05 Diperbarui: 1 Oktober 2024   17:06 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Gus Dur saat masih muda (National Information and Communication Agency Republic of Indonesia) 

Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, mungkin lebih dikenal oleh generasi sebelum tahun 2000-an sebagai presiden keempat Indonesia yang dilengserkan melalui proses politik yang kontroversial. 

Namun, bagi generasi muda yang lahir setelah era kepemimpinannya, Gus Dur menjadi lebih dari sekadar mantan presiden. 

Ia adalah simbol pluralisme, kebebasan beragama, dan perjuangan untuk demokrasi yang masih relevan hingga hari ini. 

Dalam tulisan ini, kita akan melihat bagaimana generasi muda memahami warisan Gus Dur, tantangan yang mereka hadapi dalam meluruskan sejarahnya, dan pentingnya upaya edukasi dalam menjaga warisan tersebut.

1. Warisan Gus Dur: lebih dari sekadar mantan presiden

Generasi muda tidak mengalami langsung masa kepemimpinan Gus Dur, tetapi warisannya sangat relevan bagi mereka. 

Ini terbukti dari keberadaan Gusdurian Network, sebuah gerakan inter-religius yang didirikan oleh putri Gus Dur, Alissa Wahid.

Organisasi ini melibatkan generasi muda dalam aktivisme lintas agama, pluralisme, dan hak asasi manusia. 

Sebagai simbol pluralisme dan kebebasan beragama, Gus Dur dihormati sebagai seorang pemimpin yang tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia, termasuk kelompok minoritas.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh KAICIID, Gusdurian Network menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur, terutama dalam konteks keberagaman dan demokrasi. 

Mereka terlibat dalam dialog antaragama, melindungi hak-hak minoritas, dan membela pluralisme di Indonesia. 

Peran ini menjadi semakin penting di era modern, di mana ekstremisme agama dan polarisasi sosial semakin kuat.

2. Tantangan dalam meluruskan sejarah Gus Dur

Meluruskan sejarah Gus Dur tidaklah mudah, terutama bagi generasi muda. 

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah narasi politik yang telah lama mengerdilkan kontribusi besar Gus Dur, fokus pada pemakzulan politiknya yang kontroversial. 

Banyak anak muda yang mengenal Gus Dur hanya melalui sudut pandang ini, sehingga perlu ada upaya untuk memunculkan narasi yang lebih komprehensif.

Nathan Franklin, dalam tulisannya untuk Cogitatio Press, menekankan bahwa peristiwa pemakzulan Gus Dur sering kali dijadikan alat politik untuk meminggirkan gagasan besar yang ia bawa—demokrasi, kebebasan beragama, dan perlawanan terhadap oligarki. 

Hal ini menjadi tantangan bagi generasi muda untuk menggali lebih dalam tentang peran Gus Dur di luar peristiwa politik yang kontroversial tersebut.

3. Perspektif generasi muda: menafsirkan ulang warisan Gus Dur

Bagi generasi muda, pelurusan sejarah Gus Dur memberikan kesempatan untuk menafsirkan ulang warisannya dalam konteks yang lebih luas. 

Mereka melihat Gus Dur sebagai tokoh yang tidak hanya penting bagi sejarah Indonesia, tetapi juga relevan untuk perjuangan modern dalam kebebasan beragama dan pluralisme. 

Melalui Gusdurian Network, banyak anak muda mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mempromosikan keberagaman dan dialog antaragama. 

Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur tetap hidup dan terus berkembang di kalangan generasi muda.

Aktivisme lintas agama yang digerakkan oleh anak-anak muda ini menjadi salah satu bukti kuat bahwa warisan Gus Dur tidak sekadar diingat, tetapi juga dihidupkan kembali dalam aksi nyata. 

Mereka tidak hanya belajar tentang sejarah Gus Dur, tetapi juga mengaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Pencabutan TAP MPR: simbolisme atau langkah substansial?

Pada 2024, pencabutan TAP MPR yang mengesahkan pemakzulan Gus Dur dipandang oleh sebagian orang sebagai langkah simbolis untuk memulihkan nama baiknya. 

Namun, bagi generasi muda, langkah ini tidak cukup jika tidak diiringi dengan upaya edukasi yang lebih mendalam. 

Menurut penelitian dari KAICIID, generasi muda cenderung melihat pencabutan TAP ini sebagai pengakuan formal yang terlambat, tetapi penting untuk tetap mengingat perjuangan Gus Dur dalam membela demokrasi.

Edukasi tentang Gus Dur lebih penting dibandingkan hanya sekadar menghapus stigma formal yang disematkan padanya. Gus Dur telah meninggalkan jejak yang jauh lebih besar dalam masyarakat Indonesia—jejak yang perlu terus dihidupkan melalui pendidikan yang inklusif dan menghargai keberagaman. 

Generasi muda, meskipun tidak menyaksikan langsung kepemimpinannya, tetap dapat belajar banyak dari nilai-nilai yang ia tanamkan.

5. Kesalahan politik masa lalu sebagai pelajaran

Kesalahan politik yang terjadi pada masa lalu, termasuk pemakzulan Gus Dur, menjadi pelajaran penting bagi generasi mendatang. 

Menurut Cogitatio Press, pemakzulan Gus Dur adalah salah satu contoh bagaimana kepentingan politik dapat meminggirkan kepentingan rakyat. 

Ini menjadi pengingat bagi generasi muda bahwa perjuangan untuk demokrasi dan transparansi tidak pernah berakhir.

Pelajaran ini relevan dalam konteks modern, di mana banyak kekuatan politik masih berusaha mengendalikan narasi sejarah dan kebijakan negara. 

Generasi muda yang melihat pengalaman Gus Dur sebagai bukti nyata pentingnya integritas dan keberanian politik dapat mengambil inspirasi dari perjuangannya untuk membangun masa depan yang lebih adil.

6. Langkah edukasi untuk menjaga warisan Gus Dur

Untuk menjaga warisan Gus Dur tetap hidup, diperlukan upaya edukasi yang berkelanjutan. 

Ini meliputi penyebaran narasi yang lebih luas tentang pluralisme dan demokrasi yang Gus Dur perjuangkan. 

KAICIID menekankan pentingnya peran pendidikan formal maupun informal dalam mengenalkan Gus Dur kepada generasi muda. 

Pendidikan yang inklusif dan berbasis pada nilai-nilai pluralisme akan membantu generasi muda memahami betapa pentingnya menjaga warisan Gus Dur di tengah tantangan modern.

Selain itu, media sosial dan gerakan komunitas juga memainkan peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai Gus Dur kepada audiens yang lebih luas. 

Dalam era digital ini, narasi sejarah dapat dengan mudah diakses dan dipelajari oleh siapa saja, termasuk generasi muda. 

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa cerita tentang Gus Dur disampaikan dengan cara yang relevan dan menarik bagi mereka.

Kesimpulan

Gus Dur merupakan sosok lintas zaman. 

Meski generasi muda tidak mengalami langsung masa kepemimpinannya, nilai-nilai yang ia perjuangkan tetap hidup dalam aksi-aksi mereka. 

Pelurusan sejarah Gus Dur bukan hanya soal menghapus kesalahan politik masa lalu, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang dapat belajar dari perjuangannya untuk demokrasi, pluralisme, dan keadilan. 

Upaya edukasi yang berkelanjutan diperlukan agar warisan Gus Dur tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif dan adil.

Referensi:

1. KAICIID. (2021). Legacy of transformation: Alissa Wahid and the Gusdurian Network Indonesia.

2. Cogitatio Press. (2024). Gus Dur’s enduring legacy: Accruing religious merit in the afterlife.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun