Dengan Permendikbud Ristek No. 44, sertifikasi dipermudah tanpa harus menunggu kuota, yang tentu menjadi kabar baik bagi banyak dosen muda.
Namun, percepatan ini membawa pertanyaan penting: apakah kualitas sertifikasi tetap bisa dijaga?Â
Dalam dunia pendidikan, terutama di Indonesia, kita sering kali terjebak dalam mengejar target administratif, dan lupa bahwa tujuan utama dari sertifikasi adalah memastikan kualitas pengajaran.Â
Jika percepatan sertifikasi tidak diiringi dengan peningkatan standar penilaian dan pelatihan yang memadai, kita mungkin berisiko menurunkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.Â
Artinya, meski jumlah dosen bersertifikat meningkat, kualitas pengajaran mungkin tidak bertambah baik jika proses sertifikasinya tidak diawasi dengan benar.
3. Penghapusan sistem angka kredit: manfaat atau beban baru?
Sistem angka kredit yang selama ini digunakan sebagai dasar kenaikan jabatan sering kali dianggap membebani dosen dengan tuntutan administrasi yang banyak.Â
Dengan kebijakan baru ini, dosen bisa lebih fokus pada pengembangan kompetensi melalui uji, yang dianggap lebih relevan dengan tugas akademik.Â
Bagi dosen muda, ini memberikan harapan baru untuk meraih jabatan fungsional lebih cepat tanpa harus terjebak dalam "perlombaan" mengejar angka kredit.
Namun, di sisi lain, penghapusan angka kredit juga menimbulkan tantangan baru.Â
Dalam sistem yang lama, angka kredit memberikan panduan yang jelas tentang apa yang harus dicapai oleh seorang dosen dalam bidang pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.Â
Tanpa panduan ini, dosen muda mungkin merasa kebingungan dalam menentukan prioritas kerja mereka.Â