Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Makassar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dari Komoditas ke Kreativitas, Jalan Baru Ekonomi Indonesia

12 September 2024   08:00 Diperbarui: 12 September 2024   08:03 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekonomi kreatif (Freepik)

"Gempa" ekonomi China yang mengguncang perekonomian global belakangan ini menjadi alarm keras bagi Indonesia. 

Sebagai negara yang selama ini mengandalkan ekspor komoditas ke Negeri Tirai Bambu, kita perlu segera mencari alternatif sebelum terlambat.

Untungnya, ada senjata ampuh yang bisa kita andalkan: ekonomi kreatif.

Bayangkan ekonomi kita seperti rumah yang berdiri di atas satu tiang bernama komoditas.

Begitu tiang itu goyah karena gempa dari China, seluruh bangunan ikut bergoyang hebat.

Nah, ekonomi kreatif bisa menjadi tiang-tiang tambahan yang membuat rumah kita lebih kokoh menghadapi guncangan.

Laporan dari UNCTAD tahun 2019 menunjukkan bahwa di tengah perlambatan perdagangan global, justru ekonomi kreatif malah tumbuh (UNCTAD, 2019).

Ini bukti nyata bahwa sektor ini punya daya tahan luar biasa.

Ibarat pohon bambu yang lentur, ekonomi kreatif bisa tetap berdiri tegak meski diterpa angin kencang krisis ekonomi.

Lalu apa hubungannya dengan "gempa" dari China?

Studi oleh Shrestha dan Sato (2020) menjelaskan bagaimana guncangan ekonomi di China bisa merambat ke negara-negara tetangga melalui rantai pasokan global.

Ibarat efek domino, begitu satu bidak jatuh, yang lain ikut berjatuhan.

Tapi kalau kita punya bidak-bidak dari bahan yang berbeda - dalam hal ini ekonomi kreatif - maka tidak semua akan ikut roboh.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, "Memangnya ekonomi kreatif bisa menghasilkan devisa sebesar ekspor batu bara atau minyak sawit?"

Jawabannya: bisa!

Bahkan bisa lebih besar lagi. Coba lihat China.

Menurut UNCTAD (2019), booming ekonomi kreatif di sana tidak hanya menguntungkan China sendiri, tapi juga menyeret negara-negara Asia lain untuk ikut maju.

Ini kesempatan emas bagi Indonesia untuk naik kereta ekonomi kreatif yang sedang melaju kencang di kawasan.

Lantas, langkah konkret apa yang harus diambil pemerintah? 

  • Mengalihkan subsidi dari industri ekstraktif ke industri kreatif. 
  • Membangun infrastruktur digital yang mumpuni sampai ke pelosok desa. 
  • Mereformasi kurikulum pendidikan untuk mendorong kreativitas sejak dini. 
  • Membuat kebijakan yang memudahkan ekspor produk kreatif Indonesia ke luar negeri. 

Bayangkan kalau kita bisa mengekspor film-film berkualitas seperti "Pengabdi Setan" atau "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" ke seluruh dunia.

Atau musik-musik keren macam Weird Genius yang bisa menembus chart Billboard.

Belum lagi potensi besar dari industri game, animasi, dan desain grafis yang belum tergali maksimal.

Memang tidak mudah mengubah haluan ekonomi sebuah negara.

Apalagi Indonesia sudah terlanjur nyaman dengan ekspor batu bara dan sawit.

Tapi ingat, kenyamanan itu bisa jadi jebakan.

Ibarat katak dalam air panas, kita bisa mati perlahan tanpa sadar kalau tidak segera melompat keluar.

Ekonomi kreatif bukan hanya soal menghasilkan uang, tapi juga tentang harga diri bangsa.

Lebih keren mana, dikenal sebagai pengekspor batu bara atau pengekspor film dan musik? Jawabannya jelas.

Dengan ekonomi kreatif, kita bisa mengubah citra Indonesia dari sekadar "tukang kebun dunia" menjadi "pabrik ide kreatif global".

Tentu saja, perubahan ini butuh waktu.

Tapi seperti kata pepatah, "Tak ada waktu sebaik sekarang untuk menanam pohon."

Begitu juga dengan ekonomi kreatif. Semakin cepat kita mulai, semakin cepat pula kita bisa memetik buahnya.

Jadi, mari kita sambut "gempa" ekonomi dari China ini bukan dengan ketakutan, tapi dengan semangat perubahan.

Saatnya Indonesia bangkit dari ketergantungan komoditas dan mulai membangun masa depan yang lebih cerah dengan ekonomi kreatif.

Toh, kreativitas adalah sumber daya yang tak akan pernah habis, berbeda dengan batu bara atau minyak bumi.


Referensi:

UNCTAD. (2019). Creative economy bucks the trend, grows despite slowdown in global trade. https:  //unctad.  org/press-material/creative-economy-bucks-trend-grows-despite-slowdown-global-trade

Shrestha, N., & Sato, K. (2020). Global and regional shock transmission: An Asian perspective. Journal of Economic Structures, 9(1), 1-27. https:  //journalofeconomicstructures.  springeropen.  com/articles/10.  1186/s40008-020-00210-2

UNCTAD. (2019). Creative China is booming, bringing Asia along for the ride. https:  //unctad.  org/press-material/creative-china-booming-bringing-asia-along-ride

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun