Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Makassar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kemiskinan Digital, Tantangan Baru Indonesia di Era Industri 4.0

11 September 2024   08:00 Diperbarui: 11 September 2024   14:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa dan siswi SMPN 04 Kota Komba, NTT, melaksanakan Ujian Akhir Sekolah berbasis digital di bawah tenda darurat (KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR) 

Saya masih ingat betul bagaimana dulu kita harus antre berjam-jam di kantor kelurahan hanya untuk mengurus KTP. 

Sekarang, dengan sekali klik di smartphone, banyak urusan administrasi bisa diselesaikan dalam hitungan menit. 

Tapi, apakah semua orang Indonesia bisa menikmati kemudahan ini? 

Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan dunia tanpa kemiskinan mungkin terdengar seperti mimpi indah. 

Namun kenyataannya, di era digital ini, kita justru sedang menghadapi bentuk kemiskinan baru yang tak kalah mengerikan: kemiskinan digital. 

Bayangkan, di zaman serba online ini, masih ada saudara-saudara kita yang kesulitan mengakses internet. 

Bagaimana mereka bisa mengurus e-KTP atau daftar bantuan sosial online kalau sinyal saja tidak ada?

Ini bukan cerita fiksi, tapi realita yang terjadi di banyak daerah di Indonesia. 

Menurut penelitian Nooraeni dan Prasetyo (2022), meskipun secara umum kemiskinan digital di Indonesia menurun, masih ada kesenjangan yang menganga antar provinsi. 

Provinsi seperti Papua dan Papua Barat masih memiliki indeks kemiskinan digital yang tinggi. 

Bayangkan betapa frustrasinya warga di sana ketika harus berurusan dengan layanan pemerintah yang semakin digital, sementara akses internet masih jadi barang mewah. 

Teori Kesenjangan Digital yang dibahas dalam penelitian tersebut menjelaskan bagaimana keterbatasan akses teknologi bisa menciptakan bentuk kemiskinan baru. 

Ini bukan hanya soal tidak punya gadget canggih, tapi lebih dari itu. 

Kemiskinan digital berarti tertinggal dalam akses informasi, peluang ekonomi, bahkan pelayanan dasar pemerintah. 

Coba kita bayangkan, bagaimana rasanya jadi warga di pelosok Papua yang harus naik gunung dulu baru bisa dapat sinyal? 

Sementara di Jakarta, orang bisa pesan makanan, transportasi, bahkan konsultasi dokter hanya dengan sentuhan jari. 

Ini bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga peluang hidup yang jauh berbeda. 

Nooraeni dan Prasetyo (2022) mengadopsi model Barrantes untuk mengklasifikasikan kemiskinan digital. 

Model ini tidak hanya melihat akses fisik ke teknologi, tapi juga kemampuan ekonomi dan keterampilan menggunakannya. 

Jadi, bukan hanya persoalan punya gawai atau tidak, tapi apakah mampu membeli paket data?

Apakah mampu mengoperasikan aplikasi yang disediakan pemerintah. 

Penelitian ini juga membahas implikasi kemiskinan digital terhadap pencapaian SDGs 2030. 

Bagaimana kita bisa bicara tentang pengentasan kemiskinan kalau akses ke teknologi saja masih timpang? 

Ini seperti lomba lari, di mana sebagian peserta sudah pakai sepatu lari canggih, sementara yang lain masih telanjang kaki. 

Pemerintah perlu serius menangani masalah ini. 

Jangan sampai program-program bantuan sosial yang sudah dirancang sedemikian rupa malah tidak sampai ke sasaran karena masalah akses digital. 

Infrastruktur internet harus jadi prioritas, bukan hanya di kota-kota besar, tapi sampai ke pelosok desa. 

Selain itu, edukasi digital juga penting. 

Percuma punya smartphone canggih kalau tidak tahu cara menggunakannya untuk hal-hal produktif. 

Program pelatihan digital untuk masyarakat, terutama di daerah tertinggal, bisa jadi solusi jangka panjang. 

Yang juga perlu diperhatikan adalah desain aplikasi layanan pemerintah. 

Harus user-friendly, bahkan untuk mereka yang baru kenal teknologi. 

Jangan sampai niat baik untuk digitalisasi layanan malah jadi bumerang yang mempersulit masyarakat. 

Kemiskinan digital ini bukan cuma masalah teknologi, tapi juga masalah keadilan sosial. 

Di era di mana hampir semua aspek kehidupan terhubung dengan internet, ketimpangan akses digital bisa jadi pemicu ketimpangan sosial yang lebih luas. 

Jadi, ketika kita bicara tentang SDGs dan pengentasan kemiskinan, jangan lupa untuk memasukkan aspek digital dalam perhitungan 

Karena di zaman now, kemiskinan bukan cuma soal isi dompet, tapi juga soal isi smartphone dan kecepatan internet. 

Akhir kata, mari kita renungkan: apakah revolusi digital ini benar-benar membawa kemajuan bagi semua, atau justru menciptakan jurang kesenjangan baru? 

Tugas kita bersama untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak meninggalkan siapapun di belakang. 

Karena Indonesia yang maju adalah Indonesia yang digital untuk semua, bukan hanya untuk sebagian.

---
Referensi:
Nooraeni, R. , & Prasetyo, R. B. (2022). Analisis Kemiskinan Digital Indonesia di Era Revolusi Industri 4. 0. Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, 9(2), 233-242. https:  //jtiik.  ub.  ac.  id/index.  php/jtiik/article/view/5021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun