Kebisingan digital telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan dalam kehidupan masyarakat urban di Indonesia.Â
Dengan perkembangan teknologi yang pesat, masyarakat perkotaan kini hidup di tengah arus informasi yang terus-menerus, notifikasi yang tiada henti, dan tuntutan untuk selalu terhubung secara daring.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana kebisingan digital ini mempengaruhi kesehatan mental dan fisik individu?
Penelitian menunjukkan bahwa kebisingan digital dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental. Sebuah studi oleh Jaya dan Wulandari (2018) mengungkapkan bahwa masalah kesehatan mental lebih umum terjadi di daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan, yang sering diwarnai dengan kebisingan digital [2].
Kebisingan ini dapat memicu stres, gangguan tidur, dan kecemasan, sebagaimana dijelaskan dalam artikel oleh Mediverse yang menyoroti ancaman kesehatan mental di kota besar akibat polusi suara dan cahaya [3].
Dampak kebisingan digital tidak hanya terbatas pada kesehatan mental, tetapi juga kesehatan fisik. Kebisingan yang berkepanjangan dapat meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan gangguan jantung, seperti yang diuraikan dalam laporan dari Desa Bhuana Jaya [7].
Ini menunjukkan bahwa kebisingan digital bukanlah masalah sepele, tetapi ancaman serius yang mempengaruhi kesejahteraan mental masyarakat urban.
Fenomena ini penting untuk dicari solusinya agar tidak bikin pening. Di era di mana teknologi mendominasi, memahami dampak kebisingan digital menjadi krusial. Masyarakat urban di Indonesia, yang semakin terhubung secara digital, perlu menyadari bahwa kebisingan ini dapat mengganggu keseimbangan hidup mereka.
Seperti yang diungkapkan dalam artikel Kompas tentang dampak negatif digitalisasi, kebisingan digital dapat menciptakan perasaan gagal dan ketidakamanan [4]. Ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih bijak dalam menggunakan teknologi.
Opini saya adalah bahwa kita harus lebih kritis terhadap cara kita berinteraksi dengan teknologi. Kebisingan digital adalah pedang bermata dua; di satu sisi, ia menawarkan konektivitas dan akses informasi yang belum pernah ada sebelumnya.
Tetapi di sisi lain, fenomena ini mengancam kesehatan mental dan fisik kita. Dalam konteks masyarakat urban Indonesia, di mana tekanan hidup sudah tinggi, kebisingan digital menambah beban yang tidak perlu.
Pada masyarakat urban yang terjebak dalam "penjara digital" mereka sendiri, setiap notifikasi adalah "jeruji" yang membatasi kebebasan mental mereka.
Kita harus bertanya, apakah kita menguasai teknologi, atau justru teknologi yang menguasai kita?
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi yang komprehensif.
Edukasi mengenai manajemen waktu penggunaan teknologi, seperti yang disarankan oleh SMA Dempo Malang, dapat membantu individu menjaga kesehatan mental mereka [1].
Selain itu, kebijakan publik yang mendukung pengurangan kebisingan digital, seperti pengaturan waktu kerja yang fleksibel dan promosi keseimbangan hidup, dapat berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, kebisingan digital adalah tantangan nyata bagi masyarakat urban di Indonesia. Dengan pemahaman yang lebih baik dan pendekatan yang tepat, kita dapat mengurangi dampak negatifnya dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan harmonis.
Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan ini.Â
-Â
Referensi:Â
[1] https://st-albertus.sch.id/menjaga-kesehatan-mental-di-era-digital/
[5] https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/6379/6157Â
[7] https://www.bhuanajaya.desa.id/dampak-kebisingan-pada-kesehatan-mental-dan-fisik/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H