Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Senja di Museum Celebes: antara Nostalgia dan Transformasi Digital

9 Agustus 2024   19:50 Diperbarui: 9 Agustus 2024   19:51 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak depan Museum Lagaligo (Oleh Gunarta - Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, dari Wikimedia)

Di era digital yang semakin pesat, museum-museum di Makassar dan Sulawesi Selatan tampaknya masih tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan interaksi dan keterlibatan pengunjung. 

Meskipun beberapa upaya telah dilakukan, masih ada kesenjangan yang signifikan antara potensi teknologi dan implementasinya di lapangan.

Museum La Galigo, sebagai salah satu museum utama di Makassar, telah mulai mengadopsi teknologi Augmented Reality (AR) untuk menarik minat pengunjung[1]. 

Namun, implementasinya masih terbatas dan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi teknologi ini. Sementara itu, museum-museum lain di wilayah tersebut, seperti Museum Kota Makassar dan Museum Balla Lompoa, masih mengandalkan metode penyajian konvensional yang kurang interaktif.

Ironinya, sementara museum-museum di kota-kota besar lainnya di Indonesia telah beralih ke konsep museum digital[6], Sulawesi Selatan seolah tertinggal dalam revolusi digital ini. 

Padahal, menurut studi yang dilakukan oleh Flavián et al. (2021), penggunaan teknologi realitas virtual dan augmented reality di museum dapat secara signifikan mengubah cara pengunjung berinteraksi dengan pameran, meningkatkan pengalaman mereka secara keseluruhan.

Keengganan atau keterlambatan dalam mengadopsi teknologi digital ini bisa jadi merupakan cerminan dari dilema klasik yang dihadapi banyak institusi budaya: bagaimana menyeimbangkan preservasi warisan budaya dengan tuntutan modernisasi. 

Namun, seperti yang diungkapkan oleh Daniela (2020), museum virtual dapat menjadi agen pembelajaran yang efektif, membuka peluang baru untuk pendidikan dan keterlibatan pengunjung.

Mungkin ada baiknya kita bertanya, apakah museum-museum di Sulawesi Selatan terlalu nyaman dengan status quo? 

Atau mungkin mereka terjebak dalam nostalgia masa lalu, enggan untuk berevolusi? 

Bagaimanapun, dalam era di mana anak-anak lebih fasih menggunakan gawai daripada membaca prasasti, museum perlu berbicara dalam "bahasa" yang mereka pahami.

Franssila (2021) dalam studinya tentang desain pengalaman museum digital menekankan pentingnya pendekatan yang berpusat pada pengunjung. 

Sayangnya, banyak museum di Sulawesi Selatan masih terkesan menganut filosofi "build it and they will come" - sebuah pendekatan yang semakin tidak relevan di era digital ini.

Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pihak museum. Keterbatasan anggaran, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam teknologi digital, serta infrastruktur yang belum memadai mungkin menjadi hambatan utama. 

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Shaw dan Krug (2013), bahkan penggunaan media sosial yang relatif sederhana pun dapat secara signifikan meningkatkan keterlibatan generasi muda dengan warisan budaya.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? 

Pertama, museum-museum di Sulawesi Selatan perlu menyadari bahwa digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. 

Kedua, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara museum, institusi pendidikan, dan industri teknologi lokal untuk mengembangkan solusi yang tepat guna dan berkelanjutan.

Yang menarik, studi Lee et al. (2020) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi realitas virtual dapat meningkatkan kepuasan pengunjung secara signifikan. 

Bayangkan jika pengunjung Museum La Galigo bisa "berjalan-jalan" di istana Kerajaan Gowa-Tallo abad ke-17 melalui VR, atau jika pengunjung Museum Kota Makassar bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh sejarah melalui AR. 

Bukankah itu akan jauh lebih menarik daripada sekadar membaca papan informasi? 

Namun, di tengah semangat digitalisasi ini, kita juga perlu waspada. 

Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkaya pengalaman, bukan menggantikan esensi dari museum itu sendiri. Museum tetaplah tempat untuk merefleksikan dan menghargai warisan budaya, bukan sekadar tempat untuk berfoto selfie dengan filter AR yang keren. 

Akhirnya, pertanyaannya bukan lagi "apakah" museum-museum di Sulawesi Selatan akan mengadopsi teknologi digital, tapi "kapan" dan "bagaimana". 

Dalam perjalanan menuju era museum digital, Sulawesi Selatan memiliki kesempatan unik untuk menciptakan model yang memadukan kearifan lokal dengan inovasi teknologi. 

Mungkin inilah saatnya bagi museum-museum di sana untuk tidak hanya menjadi penjaga warisan masa lalu, tapi juga menjadi pionir dalam membentuk cara kita berinteraksi dengan sejarah di masa depan.

-

Referensi:
[1] media*neliti*com/media/publications/288658-sistem-museum-digital-menggunakan-augmen-7395cf9b*pdf
[2] www*neliti*com/publications/288658/sistem-museum-digital-menggunakan-augmented-reality
[3] jurnal*kominfo*go*id/index.php/snki/article/download/2629/1248
[4] ejournal*stipram*ac*id/index.php/kepariwisataan/article/download/135/121
[5] vcube*co*id/manfaat-digitalisasi-museum-di-era-modern/
[6] travel*kompas*com/read/2020/03/17/220300227/saatnya-virtual-traveling-16-museum-digital-indonesia-yang-bisa-dikunjungi?page=all
[7] monsterar*net/2019/02/14/5-teknologi-museum-digital/
[8] neliti*com/publications/494655/pengembangan-teknologi-augmented-reality-di-museum-sulawesi-tengah-sebagai-penun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun