Franssila (2021) dalam studinya tentang desain pengalaman museum digital menekankan pentingnya pendekatan yang berpusat pada pengunjung.Â
Sayangnya, banyak museum di Sulawesi Selatan masih terkesan menganut filosofi "build it and they will come" - sebuah pendekatan yang semakin tidak relevan di era digital ini.
Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pihak museum. Keterbatasan anggaran, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam teknologi digital, serta infrastruktur yang belum memadai mungkin menjadi hambatan utama.Â
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Shaw dan Krug (2013), bahkan penggunaan media sosial yang relatif sederhana pun dapat secara signifikan meningkatkan keterlibatan generasi muda dengan warisan budaya.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?Â
Pertama, museum-museum di Sulawesi Selatan perlu menyadari bahwa digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.Â
Kedua, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara museum, institusi pendidikan, dan industri teknologi lokal untuk mengembangkan solusi yang tepat guna dan berkelanjutan.
Yang menarik, studi Lee et al. (2020) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi realitas virtual dapat meningkatkan kepuasan pengunjung secara signifikan.Â
Bayangkan jika pengunjung Museum La Galigo bisa "berjalan-jalan" di istana Kerajaan Gowa-Tallo abad ke-17 melalui VR, atau jika pengunjung Museum Kota Makassar bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh sejarah melalui AR.Â
Bukankah itu akan jauh lebih menarik daripada sekadar membaca papan informasi?Â
Namun, di tengah semangat digitalisasi ini, kita juga perlu waspada.Â