Di era digital saat ini, informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Kemudahan ini juga membuat masyarakat rentan terhadap hoaks, informasi yang salah atau menyesatkan yang sengaja disebarkan. Beberapa bulan terakhir, hoaks semakin meningkat sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan opini publik. Hoaks dapat merusak reputasi, menciptakan kebingungan, dan bahkan mempengaruhi keputusan politik dan kesehatan masyarakat. Hoaks adalah berita atau informasi yang tidak benar yang disebarkan dengan tujuan untuk menyesatkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks diartikan sebagai berita bohong atau tidak benar yang disebarluaskan. Hoaks sering kali dikemas dengan cara yang menarik dan provokatif untuk menarik perhatian publik. Mereka dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari artikel, gambar, hingga video.
Media massa memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, khususnya dalam ranah politik. Namun, ketika hoaks politik muncul dan menyebar luas, media massa sering kali berada di persimpangan antara menjadi alat penyebar hoaks atau benteng kebenaran. Peran media dalam menangani hoaks politik adalah hal yang sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas demokrasi. Pengamat media Dr. Andi Santoso mengatakan berita palsu berpusat pada kesehatan, politik, dan bencana alam. “Masyarakat perlu sangat berhati-hati terhadap informasi yang diterimanya dan selalu mengecek sumber informasinya,” ujarnya.
Hoaks dapat menyebar di masyarakat melalui dua pola utama yaitu Hoaks di masyarakat sering menyebar melalui Circular Reporting yang pola penyebaran hoaks di mana informasi palsu berputar dari satu sumber ke sumber lainnya hingga terlihat seperti fakta. Contohnya, media A menerbitkan berita hoaks, lalu media B mengambil berita yang sama dari media A. Ketika kebenaran berita tersebut dipertanyakan, media A justru merujuk pada media B sebagai sumbernya. Pola ini juga sering terjadi di media sosial, di mana orang menyebarkan informasi dengan mencantumkan sumber, tetapi ternyata sumber tersebut berisi informasi palsu dan hoaks tersebar melalui konten yang dibuat dan diberikan langsung oleh pengguna di platform seperti Facebook, Twitter, atau WhatsApp. Dalam pola ini, individu pengguna menjadi aktor utama dalam menyebarkan informasi palsu, baik secara sengaja maupun tidak. Penyebaran ini semakin cepat karena platform digital memungkinkan pesan disampaikan dengan mudah ke banyak orang dalam waktu singkat. Kedua pola ini memperlihatkan bagaimana hoaks bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat, terutama jika informasi tersebut terus-menerus diberikan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Pola-pola ini menunjukkan bagaimana hoaks bisa dengan mudah dipercaya dan diterima oleh masyarakat.
Di era digital saat ini, hoaks atau berita palsu dapat menyebar dengan cepat melalui berbagai platform media sosial, termasuk Facebook, YouTube, Instagram, Twitter, dan TikTok, serta aplikasi pesan seperti WhatsApp dan Telegram, yang semuanya menjadi sarana utama penyebaran informasi menyesatkan yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat dan menciptakan kebingungan mengenai kebenaran informasi. Beberapa media sosial yang sering digunakan untuk menyebarkan hoaks meliputi ;
1.Facebook
Facebook yaitu salah satu platform utama hoaks sering kali ditemukan. Dengan jutaan pengguna aktif media sosial Facebook ini, informasi dapat menyebar dengan sangat cepat melalui berbagai grup maupun halaman Facebook. Facebook juga merupakan platform dengan jumlah penyebaran hoax tertinggi. Menurut data yang terbaru, yaitu sekitar 33% penyebaran hoax pada 2023 dari total temuan hoaks berasal dari Facebook. Seketika menjadikannya sebagai saluran utama penyebaran informasi palsu atau hoaks. Di Facebook banyak pengguna yang tidak memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Penyebaran hoaks di Facebook merupakan isu serius yang mempengaruhi banyak pengguna, riset pada tahun 2022 dengan persentase mencapai 55,9% menunjukkan bahwa masih Facebook platform dengan tingkat penyebaran hoaks tertinggi dan paling sering ditemukan konten hoaks oleh masyarakat laporan ini menurut Kemenkominfo RI bersama Katadata Insight Center (KIC).
2.Youtube
Video di Youtube sering kali menjadi sarana untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat atau benar. Konten video yang menarik dapat menarik perhatian dan membuat hoaks lebih mudah diterima oleh penonton. Menurut data yang terbaru, yaitu sekitar 32% penyebaran hoaks pada 2023 dari Youtube. Konten video sering kali lebih menarik perhatian dan dapat menyampaikan informasi dengan cara yang lebih persuasif.
3.Twitter
Twitter juga memungkinkan penyebaran informasi secara cepat. Pengguna dapat dengan mudah memberikan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu, sehingga hoaks dapat menyebar luas dalam waktu yang singkat. Twitter salah satu platform yang banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks, meskipun dalam proporsi yang lebih kecil dibandingkan Facebook dan Youtube. Menurut data pada tahun 2022 yaitu sekitar 2% hoaks yang kerap ditemukan. Adapun peningkatan di tahun 2023 ditemukan 14% Twitter sebagai kanal penyebaran berita hoaks.
4.Instagram
Instagram juga berfokus pada gambar dan video ini menjadi tempat hoaks dapat disebarkan melalui cerita yang menarik perhatian warganet. Instagram, meskipun tidak sebesar Facebook atau Youtube dalam hal penyebaran hoaks, tetapi Instagram menjadi platform yang digunakan untuk menyebarkan informasi palsu. Menurut data pada tahun 2022 juga ditemukan sarang hoaks ada di Instagram dengan persentase 7,4%. Meskipun lebih visual, Instagram juga menjadi sarana penyebaran hoaks.
5.Tiktok
Tiktok merupakan platform baru yang semakin populer, video pendek dapat dengan cepat menjadi viral. Ini membuat menjadi saluran yang efektif untuk penyebaran hoaks, terutama dikalangan anak muda. Menurut data pada tahun 2023 ditemukan berita hoaks dengan persentase 8% dari total temuan yang ada di platform Tiktok. Dengan penyampaian informasi yang cepat dan menarik membuatnya mudah viral.
6.WhatsApp
Aplikasi pesan seperti platform seperti WhatsApp sering digunakan untuk menyebarkan hoaks dalam bentuk pesan pribadi atau grup. Penyebaran di WhatsApp ini cenderung lebih pribadi, tetapi tetap berbahaya karena informasi dengan cepatnya bisa menyebar dengan cepat di antara kontak yang paling dipercaya. Aplikasi ini juga sangat berkontribusi dalam penyebaran hoaks, terutama melalui grup tertutup. Menurut data pada tahun 2022 ditemukan sekitar 13,9% juga merupakan sarang hoaks yang kerap ditemukan. Sedangkan pada tahun 2023 ditemukan sekitar 7% dari hoaks ditemukan di platform WhatsApp ini.
7.Telegram
Telegram ini juga digunakan untuk mendistribusikan berita hoaks, terutama dalam grup-grup tertutup, informasi bisa dibagikan tanpa pengawasan dari pihak luar, jadi membuatnya sulit untuk melakukan pengecekan fakta. Hoaks terkait Pemilu 2024 di media sosial, terutama di Telegram, telah menjadi perhatian serius. Sebanyak 203 hoaks teridentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga awal Januari 2024, dengan penyebaran yang meningkat signifikan menjelang pemilu. Salah satu hoaks mencakup klaim bahwa KPU menyusupkan 52 juta pemilih dalam daftar pemilih. Kominfo terus berupaya menindaklanjuti konten hoaks, dengan banyak yang sudah dihapus dari platform media sosial Hoaks cenderung meningkat selama periode-periode penting seperti pemilihan umum, krisis kesehatan, atau bencana alam. Misalnya, hoaks di masa yang sering terjadi di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menangani peredaran hoaks di media sosial di antaranya adalah dengan melakukan penegakan hukum, melibatkan penyelenggara platform dan juga edukasi pada masyarakat (Kominfo, 2017). Namun, penyebaran hoaks masih terus beredar pada perhelatan pemilu 2019 lalu. Terdapat 3.356 hoaks yang berhasil dijaring sejak September 2018 hingga September 2019. Dalam rentan waktu tersebut, terdapat 1.156 hoaks yang beredar pada saat pemilu berlangsung (Kominfo, 2019). Menurut Sosiawan & Wibowo (2020) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hoaks Pemilu 2019 meningkat signifikan dibanding Pemilu sebelumnya. Hoaks yang beredar pada masa Pemilu Presiden termasuk wacana politik yang termasuk bagian dari komunikasi politik. Komunikasi politik dikategorikan sebagai komunikasi yang mempunyai nilai politik, yang berakibat dapat mengatur tingkah laku manusia saat berkonflik. Pada pemilu 2024, berita hoaks semakin marak tersebar di berbagai platform, termasuk media sosial dan grup WhatsApp. Data yang dipublikasikan oleh Databoks Katadata pada akhir tahun lalu menunjukkan bahwa dari 355 konten yang tersebar antara Juli hingga November 2023, sebanyak 27 persen atau 96 berita di antaranya merupakan hoaks terkait Pemilu.
Hoaks atau berita palsu berisikan berita yang menyesatkan dan umumnya disebarkan melalui media sosial dan media lainnya. Tujuannya beragam, di antaranya untuk memaksakan sebuah gagasan dengan maksud dan tujuan tertentu. Wardle dalam Paskarina, C. (2017) mengatakan bahwa ada berbagai kepentingan yang melatarbelakangi lahirnya hoaks dengan berbagai macam bentuk seperti misinformasi sampai disinformasi. Penyebaran informasi yang salah tanpa sengaja disebut misinformasi. Sedangkan disinformasi terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh si pembuat hoaks tersebut yang kemudian disebar ke berbagai media dengan beragam jenis hoaks dan berbagai kepentingan. Hoaks dalam Pemilihan Umum Presiden, menjadi komoditi andalan antar pendukung untuk saling menjatuhkan dan menjelek jelekkan lawan (Sosiawan & Wibowo, 2020). Hoaks politik merupakan kategori Pemilu dengan salah satu tema yang paling menonjol saat perhelatan Pemilu mulai berlangsung. Hoaks yang beredar tidak semata mata untuk menjatuhkan para calon presiden tetapi juga pemerintah yang berkuasa yang mencalonkan diri kembali menjadi presiden (Juditha, 2019). Disisi lain, masyarakat Indonesia sangat rentan terpapar hoaks karena kehidupan sehari hari mereka tidak terlepas dari internet dan media sosial sebagai media yang paling dominan dalam penyebaran hoaks. APPJI mencatat tingkat penetrasi internet masyarakat Indonesia mencapai 79,5% pada tahun 2024 naik sekitar 1,4% dari tahun sebelumnya (APPJI, 2024). Hoaks tentang Pemilu menjadi bagian dari proses komunikasi politik di ranah maya.
Peningkatan jumlah berita hoaks ini tidak lepas dari kondisi politik yang semakin memanas. Menurut penjelasan Puji Rianto, ada tiga faktor utama yang menjadi pemicu maraknya berita hoaks. Pertama, hoaks kini telah menjadi komoditas yang sengaja diproduksi untuk kepentingan politik. Ada pihak-pihak yang secara sadar menciptakan hoaks demi keuntungan ekonomi, dengan pihak lain yang bersedia membayar untuk penyebarannya. Kedua, rendahnya etika politik juga turut mendukung maraknya produksi hoaks di kalangan aktor politik. Jika para pelaku politik memegang teguh etika, mereka tidak akan memproduksi informasi yang menyesatkan atau bahkan fitnah. Oleh karena itu, hoaks muncul karena lemahnya etika politik. Ketiga, fenomena era post truth memperburuk penyebaran hoaks. Di era ini, orang cenderung lebih mempercayai informasi berdasarkan emosi dan prasangka pribadi, bukan fakta objektif. Kurangnya literasi digital membuat masyarakat kurang kritis terhadap informasi, memudahkan hoaks untuk tersebar. Selain itu, ideologi, nilai-nilai, agama, dan afiliasi politik juga berperan dalam memproduksi dan menyebarkan hoaks untuk kepentingan politik tertentu.
Di era digital yang semakin maju, akses terhadap informasi menjadi lebih mudah dan cepat. Apa pun yang kita cari dapat ditemukan hanya dengan satu klik. Informasi yang kita terima biasanya disesuaikan dengan niat dan tujuan pribadi masing-masing. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak yang perlu diperhatikan, baik positif maupun negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyadari bahwa tidak semua informasi di dunia maya dapat dipercaya. Kita perlu lebih kritis dalam menilai sumber informasi yang kita terima, apakah berasal dari pihak yang dapat dipercaya atau tidak. Hal ini sangat penting untuk mencegah penyebaran berita hoaks, yaitu informasi palsu yang dapat memicu kesalahpahaman, keresahan sosial, bahkan kerugian material dan non-material. Untuk itu, masyarakat harus memahami metode yang efektif dalam mendeteksi dan menangkal penyebaran berita hoaks.
Berikut beberapa cara menghindari dan melawan berita hoaks antara lain :
1.Verifikasi Sumber :
Sebelum mempercayai atau membagikan informasi, pastikan untuk memverifikasi sumbernya. Periksa apakah informasi tersebut berasal dari sumber yang terpercaya dan sudah diverifikasi oleh lembaga berita yang kredibel.
2.Periksa Fakta
Jangan mudah percaya pada judul atau klaim yang sensasional. Lakukan penelusuran lebih lanjut untuk memverifikasi kebenaran informasi dengan mencari fakta-fakta yang relevan dari berbagai sumber yang dapat dipercaya.
3.Perhatikan Tanda-tanda Pengenalan Informasi Palsu
Informasi palsu sering memiliki ciri-ciri tertentu, seperti penggunaan tata bahasa yang buruk, gambar yang telah dimanipulasi, atau klaim yang tidak masuk akal. Jika suatu informasi tampak mencurigakan, lebih baik untuk tidak mempercayainya.
4.Bersikap Kritis dan Analitis
Jadilah kritis terhadap informasi yang Anda temui di media sosial. Pertanyakan motivasi di balik informasi tersebut dan pertimbangkan apakah ada kepentingan tertentu yang terlibat.
5.Periksa Keaslian Gambar dan Video
Jika informasi disertai gambar atau video, pastikan keasliannya dengan menggunakan layanan pencarian gambar terbalik, seperti Google Images atau TinEye. Ini akan membantu Anda mengetahui apakah gambar tersebut sudah pernah digunakan di tempat lain dengan konteks yang berbeda.
6.Ikuti Sumber Berita Terpercaya
Ikuti sumber-sumber berita yang terpercaya dan berkredibilitas baik di media sosial Anda. Ini termasuk situs web berita resmi, akun media sosial organisasi berita, atau akun yang dikelola oleh jurnalis terkemuka.
7.Laporkan Berita Hoaks
Jika Anda menemukan hoaks, laporkan kepada platform atau otoritas yang relevan. Banyak platform media sosial memiliki mekanisme pelaporan untuk informasi palsu. Dengan melaporkan hoaks, Anda membantu mencegah penyebaran informasi yang salah dan melindungi orang lain dari dampaknya.
Psikologi politik berperan penting dalam memahami penyebaran hoaks, melibatkan pemahaman bagaimana berita palsu dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat. Faktor-faktor psikologis seperti bias kognitif dan kebutuhan emosional membuat individu lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak benar. Berikut adalah beberapa penerapan psikologi politik terkait hoaks :
a.Manipulasi Persepsi
Hoaks sering kali dirancang untuk memanipulasi persepsi publik terhadap isu- isu tertentu, seperti politik atau sosial. Dengan menyebarkan informasi yang menyesatkan, hoaks dapat membentuk opini masyarakat dan mempengaruhi keputusan pemilih. Dampak persekusi secara daring yang menimbulkan perilaku perundungan siber, seperti contoh ada sebuah berita hoaks akan seseorang, sebelum mengetahui kebenarannya, namun orang yang mendapat berita hoaks beramai-ramai perundungan orang yang termuat dalam berita hoaks tersebut.
b.Keterikatan Emosional
Berita hoaks sering kali memanfaatkan emosi, seperti ketakutan atau kemarahan, untuk menarik perhatian. Ketika individu merasa terancam atau marah, mereka cenderung lebih mudah menerima informasi yang sesuai dengan perasaan tersebut, meskipun informasi itu tidak benar.
c.Bias Kognitif
Individu cenderung memiliki bias kognitif yang membuat mereka lebih percaya pada informasi yang sejalan dengan pandangan atau keyakinan mereka. Hoaks sering kali disebarkan melalui saluran yang memperkuat bias ini, sehingga memperkuat kepercayaan yang salah.
d.Pengaruh Sosial
Penyebaran hoaks sering kali terjadi dalam konteks sosial, di mana individu merasa tertekan untuk mengikuti pendapat kelompok. Ketika hoaks disebarkan di media sosial, orang cenderung mempercayainya karena melihat orang lain juga mempercayainya.
e.Strategi Komunikasi
Dalam politik, hoaks dapat digunakan sebagai strategi komunikasi untuk merusak reputasi lawan atau untuk menciptakan kebingungan di kalangan pemilih. Ini menunjukkan bagaimana psikologi politik dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Penerapan psikologi politik dalam konteks hoaks menunjukkan bahwa pemahaman tentang perilaku manusia dan proses pengambilan keputusan sangat penting dalam menangani penyebaran informasi yang salah. Masyarakat perlu dilatih untuk berpikir kritis dan skeptis terhadap informasi yang diterima, terutama di era digital saat ini.
Dosen Pengampu : Dr. Rr. Amanda Pasca Rini, M.Si., Psikolog
Dosen Praktisi : Herlina Harsono Njoto S.Psi, M.Psi Psikolog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H