Dalam konteks ini, politik yang baik juga harus mampu menjaga keseimbangan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan adanya mekanisme kontrol dan keseimbangan kekuasaan yang efektif, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua politik dilakukan dengan cara yang negatif. Ada juga politikus yang berkomitmen untuk melakukan perubahan positif dan melayani kepentingan masyarakat secara jujur dan adil. Oleh karena itu, kita perlu memilih pemimpin yang memiliki integritas dan moralitas yang tinggi untuk memastikan politik tetap menjadi alat untuk mencapai kebaikan bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa politik masih memiliki banyak masalah yang perlu diatasi. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa politik juga memiliki potensi untuk membawa perubahan positif dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Tindakan nepotisme dan konglomeratisme sering kali menjadi ciri khas dalam praktik politik yang terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mendapatkan kekuasaan, ada kemungkinan besar mereka akan tergoda untuk melakukan tindakan korupsi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan dengan integritas dan tanggung jawab demi kepentingan publik, “korupsi dan kekuasaan” laksana dua sisi yang berhubungan. Korupsi merupakan produk kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan "pintu masuk" bagi tindak korupsi. Hampir selalu terjadi orang baik menjadi orang jahat" (Lord Acton, 1834--1902).
Korupsi telah menjadi penyebab utama perubahan perilaku orang baik menjadi jahat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan individu yang sebelumnya dianggap baik dan berintegritas. Fenomena ini menggambarkan betapa sulitnya menjaga integritas dan moralitas di tengah lingkungan yang korup.
Politik di Indonesia seringkali lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat secara umum. Hal ini membuat sistem politik menjadi korup dan tidak transparan.
Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakstabilan politik dan kurangnya keberlanjutan dalam implementasi kebijakan. Selain itu, kurangnya pertanggungjawaban politik juga menjadi masalah serius, karena para politisi cenderung fokus pada kepentingan pribadi dan kelompok mereka sendiri daripada pada kepentingan publik secara keseluruhan.
Praktik ini mengakibatkan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap politikus dan partai politik. Masyarakat menjadi skeptis terhadap janji-janji yang diberikan oleh para calon pemimpin, karena seringkali janji tersebut tidak terealisasi setelah mereka memenangkan pemilihan.
Namun, untuk memenangi pilkada dan pilpres dengan tujuan kekuasaan, tidak hanya diperlukan praktik politik yang manipulatif. Dibutuhkan juga komitmen yang kuat untuk melayani masyarakat dengan integritas dan kejujuran.
Hal ini disebabkan oleh adanya praktik-praktik politik yang merugikan, seperti mobilisasi pencitraan, money politics, dan tebar janji untuk keuntungan diri. Praktik-praktik ini dapat mengganggu integritas demokrasi dan mempengaruhi kualitas pemilihan umum. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi tantangan ini agar demokrasi di Indonesia berjalan secara sehat dan bermartabat.
Hal ini terlihat dari banyaknya keputusan yang diambil tanpa melibatkan partisipasi publik dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, beberapa kebijakan yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja dan RUU HIP telah menuai protes dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi konflik antara eksekutif dan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti DPR dan KPK.