"Kopi ini sangat pas dengan suasana malam ini. Riuh langit mengisyaratkan sesuatu. Dan aku tahu, kopi tubruk dengan perbandingan dua sendok kopi dan setengah sendok gula adalah takaran yang sempurna. Jika kurang manis, ada senyum gemintang!"
"Seberapa penting kopi buat kamu?"
"Tidak penting untuk diukur. Yang jelas, aku lebih memilih menyelamatkan kopi dari pada menyelamatkanmu saat dapurmu kebakaran!"
"Memangnya aku lumpuh?"
"Sekarat!"
"Kunam!"
Setelah menikmati selepek kopinya, Aven menyerahkan cangkir kopi itu kepada Lumbung. Aven kemudian melangkah ke depan. Lalu duduk dengan kaki menggantung di udara. Pandangannya lurus ke depan, jauh, sangat jauh.Â
Di belakangnya, Lumbung hanya bisa mengamatinya. Ia tidak mungkin berani duduk di sebelahnya. Trauma jatuh dari pohon mangga samping rumah masih tumbuh subur di kepalanya.Â
Lumbung tetap pada tempatnya. Suasana semakin hening. Hanya suara kelelawar yang sedang menangkap serangga kecil yang bisa terdengar oleh telinga mereka. Sesekali suara tokek juga ikut ambil bagian.Â
Ingin saja Lumbung meninggalkannya. Tapi ribuan pertanyaan masih antri untuk digelindingkan. Berkali-kali ia berniat untuk segera tidur, tapi berkali-kali pula ia membatalkannya. Lumbung masih ingin tahu banyak tentang apa yang sedang terjadi pada sahabatnya itu.
"Mau sampai kapan kamu menggantung kakimu di situ?" tanya Lumbung sambil menyiram lidahnya dengan kopi.