Hari menjelang petang. Warna jingga mulai menebal di cakrawala sana. Lalang masih di kamarnya. Sedangkan Lumbung dan Aven sedang asik berbincang di beranda. Dua cangkir yang mengepulkan asap terpampang manja. Petang itu, mereka sedang menikmati suasana pergantian tahta. Matahari yang sejak dua belas jam yang lalu mengedari bumi yang mereka injak akan segera pamit untuk mengedari belahan bumi yang lain.Â
Ada beberapa burung walet yang melayang-layang di udara. Kehadirannya semakin memperindah upacara pergantian tahta itu. Empat mata yang ada di beranda hanya bisa mengaguminya.
 Namun tidak cukup itu. Selang beberapa waktu, muncul sekawanan kalong dan kelelawar mencari serangga yang terlambat pulang ke rumah. Gerakan lincahnya menjadi sajian gratis dua manusia yang sedang duduk manis di kursi beranda.Â
Parodi walet, kelelawar, kalong dan serangga yang pulang terlambat semakin sempurna saat suara prenjak mulai terdengar menyalak-nyalak di antara pemeran parodi itu. Kata Lumbung, burung cantik itu sedang sibuk menidurkan anak-anaknya.
Eksistensi siang yang terang benderang benar-benar tinggal khatamnya. Suara prenjak telah mereda. Karena anak-anaknya sudah mulai mengatub. Sekawanan walet juga sudah tidak terlihat lagi. Sudah saatnya sang senja menampakkan batang hidungnya.Â
Jingga semakin tebal garisnya. Di sana, senja sedang menengadahkan dua tangannya untuk menerima titah dari sang matahari. Matahari pun pamit. Senja mengantarkannya sampai di ufuk barat. Setelah itu, muncullah sang penerima titah yang sah. Ia adalah sang malam; penjagal apa saja yang berbau terang. Namun, Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat gemintang merayunya. Benar kata orang, malam selalu jatuh cinta pada gemintang.Â
"Coba lihat senja di atas sana!" kata Lumbung sambil menunjuk senja yang menyala.Â
"Memangnya kenapa?" tanya Aven malas.Â
"Ia itu umurnya memang pendek. Tapi semua orang selalu mengagumi keelokan wajahnya. Miliaran manusia selalu menyempatkan diri untuk tunduk padanya."
"Ah, kon, ae[1] yang berlebihan!" respon Aven sekenanya.
Â