Ia pamit kepada ibunya. Lumbung berangkat. Suara motor meraung di beranda. Ia melaju. Tergesa. Jarak yang ditempuh sekitar tiga kilometer. Bukan jarak yang jauh. Lumbung hanya butuh waktu tujuh menit untuk sampai di sana.
Aven berseri-seri. Tangannya melambai-lambai pada seseorang yang baru saja turun dari motor. Ia Lumbung. Lalang hanya duduk. Diam, tenang. Tapi ragu. Kenapa aku harus di sini? Di kota ini? Kenapa juga aku ikut lelaki ini?
"Temanku sudah datang. Mari, kita ke sana!" ajak Aven. Lalang hanya mengangguk. Tanpa suara. Ia lalu berjalan mengekor di belakangnya. Terlihat dari ujung sana, Lumbung sedang berjalan menuju ke tempatnya.
 Dua sahabat itu akhirnya berpelukan lama. Utang piutang yang berwujud kerinduan terbayar lunas. Lalang hanya memandangi pelukan itu. Akrab. Lekat. Hangat. Seperti sepasang kekasih. Terpisah jarak. Berbagi rindu hanya melalui angin. Kadang juga mimpi. Kadang juga desau ponsel yang kehilangan jaringan.
"Yuk, kita pulang!" Lumbung menggamit lengan Aven. Aven tidak beranjak. Kenapa? Ia masih berdiri pada posisinya. Lumbung terkesiap.
"Ada apa lagi? Ayo kita pulang dan makan. Jangan mati."Â
"Kamu tadi naik apa?" tanya Aven cepat.
"Motor!" jawab Lumbung singkat. Ia tidak menyadari gelagat anehnya.
"Bisa buat bertiga, kan?"
"Lah. Nggak cukup! Ada siapa lagi?"